WELCOME

   
  deryjamaluddin
  Agama dan Budaya
 

Agama & Budaya (Religion & Culture)

Definisi Agama

Para pemikir dan cendekiawan agama, khususnya para pemikir Muslim telah berupaya menyuguhkan sebuah definisi tentang agama secara sempurna. Demikian juga para sosiolog telah mengadakan kajian dan riset rigoris ihwal substansi agama dan posisinya di antara pranata-pranata masyarakat lainnya; Apakah agama merupakan sebuah pranata sosial atau sebuah substansi lain di luar pranata sosial?

Memasuki pembahasan ini tidaklah begitu penting saat ini bagi kita. Yang penting di sini adalah menjelaskan definisi agama yang benar dan piranti-piranti utama yang membentuknya sehingga dengan ada dan tiadanya piranti-piranti tersebut kita dapat menghukumi mana agama yang benar dan mana agama yang batil.

Dengan demikian, definisi yang menyeluruh (jâmi’) dan meliputi (syâmil) semua agama samawi yang benar meskipun masa berlakunya telah habis dan mengalami distorsi adalah sebagai berikut:

Agama merupakan serangkaian keyakinan hati dan perilaku yang sesuai dengan keyakinan-keyakinan tersebut. Keyakinan hati meliputi keyakinan terhadap Keesaan Allah, Kenabian dan Ma’ad (eskatologi). Keyakinan hati terhadap hal-hal ini biasa juga disebut sebagai ushuluddin (pokok-pokok agama). Dan perilaku yang sesuai dengan keyakinan-keyakinan tersebut adalah seluruh jenis perilaku dan aktifitas yang dilaksanakan sesuai dengan perintah dan larangan Allah yang mengindikasikan rasa penghambaan kepada-Nya. Bagian ini disebut sebagai furu’uddin (cabang-cabang agama).

Atas dasar ini, definisi Islam sebagai salah satu agama samawi dan satu-satunya agama yang benar, setelah berlalunya masa agama-agama sebelumnya, adalah sekumpulan keyakinan hati, yang sejalan dan selaras dengan fitrah manusia dan dapat dibuktikan dan ditetapkan dengan argumentasi-argumentasi rasional (aqli) dan referensial (naqli), serta kewajiban-kewajiban agama yang disyariatkan oleh Allah Swt kepada Rasul-Nya Saw dalam rangka merealisasikan kebahagiaan dan mewujudkan kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat. Kewajiban-kewajiban tersebut mencakup semua hal yang memiliki peran dalam mewujudkan kebahagiaan dan kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat.

Definisi agama ini, khususnya definisi agama Islam tersebut merupakan sebuah definisi yang telah diterima dan disepakati oleh kaum Muslimin sedunia.

Definisi Budaya

Para sosiolog telah menyebutkan sebanyak lima ratus definisi untuk kosa kata budaya. Tentu kita tidak akan menyebutkan seluruh definisi yang diberikan oleh para sosisolog di atas sembari mengevaluasi titik lemah dan titik kuat yang dimiliki oleh setiap definisi tersebut serta menelusuri pertautan budaya dengan agama. Di sini kita hanya akan menyebutkan tiga definisi saja yang kurang lebih mewakili mayoritas definisi-definisi tersebut dan kemudian meneliti korelasinya dengan agama.

 

Pada sebagian definisi disebutkan bahwa budaya mencakup akidah, norma (value), etika dan perilaku yang dipengaruhi oleh tiga hal tersebut serta adat-istiadat yang dimiliki oleh sebuah masyarakat.

Definisi kedua dinyatakan bahwa adat istiadat (sebuah masyarakat) adalah pondasi asli sebuah budaya, dan perilaku-perilaku (yang dipraktikkan) tanpa memperhatikan akidah  yang membangunnya. Sementara definisi ketiga berasumsi bahwa budaya adalah sebuah faktor yang dapat memberikan arti dan menentukan arah kehidupan seseorang.

Pertautan Agama dan Budaya

Setelah kita mengulas secara global ketiga definisi di atas, pertautan antara agama dan budaya dapat diilustrasikan sebagaimana di bawah ini:

Jika kita membandingkan agama yang dibentuk oleh piranti keyakinan hati dan perilaku yang sesuai dengan keyakinan tersebut dengan definisi budaya di atas, maka agama merupakan bagian dari budaya. Karena budaya dalam definisi pertama di atas meliputi keyakinan hati (akidah), perilaku, etika dan adat-istiadat, baik yang bersumber dari agama atau tidak. Dengan demikian, agama adalah bagian dari budaya.

Namun, jika kita membandingkan agama dengan definisi kedua budaya di atas yang beranggapan perilaku dan adat-istiadat lahiriah (yang dijalankan oleh sebuah masyarakat) sebagai budaya, pertautan antara agama dan budaya tidak jauh berbeda dengan pertautan antara dua pranata (sebuah masyarakat) yang hanya bertemu pada beberapa titik konvergensi yang dimiliki oleh mereka. Dengan demikian, tidak dapat dikatakan bahwa agama, secara utuh, merupakan bagian dari budaya atau sebaliknya.

Boleh jadi definisi (ketiga) budaya yang berasumsi bahwa budaya adalah sebuah faktor yang mampu memberi arti dan menentukan arah kehidupan manusia, adalah definisi yang paling logis. Akan tetapi, sebelum kita membahas lebih jauh, harus kita jelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan “memberi arti kehidupan manusia.”

Jika kita bandingkan perilaku manusia dan perilaku binatang, akan kita dapati bahwa kedua perilaku tersebut secara substansial adalah satu meskipun secara lahiriah berbeda. Contohnya, seorang manusia dan seekor binatang ketika mereka merasa lapar akan mencari makanan untuk menghilangkan rasa lapar. Akan tetapi, meskipun rasa kenyang yang dirasakan oleh manusia dan binatang tersebut adalah sama, akan tetapi perilaku manusia (dalam rangka mengenyangkan dirinya) tersebut bisa bermuatan nilai positif dan negatif. Jika ia dalam usaha mengenyangkan dirinya itu mengambil makanan milik orang lain, maka perilakunya tersebut adalah sebuah tindak pencurian dan melanggar hak-hak orang lain yang hal itu bermuatan nilai negatif.

Begitu juga dalam sebuah masyarakat beragama terdapat sebagian perilaku sarat muatan nilai negatif atau positif. Seperti menggunjing orang lain, meninggalkan shalat, dan membatalkan puasa (dengan sengaja) memiliki nilai negatif, menjaga rahasia orang lain dan melaksanakan kewajiban puasa bermuatan nilai positif dalam perspektif Islam.

 

Poin penting yang perlu dibahas di sini adalah mengapa manusia yang hidup dalam sebuah masyarakat bergama, di samping perilaku baik dan buruk yang diyakininya, juga meyakini bahwa sebuah perilaku itu bermuatan nilai positif atau memiliki nilai negatif? Dengan kata lain, dari manakah baik dan buruk itu muncul?

Salah satu pembahasan filsafat (etika) penting dan hangat yang sekarang sedang digemari dunia adalah apakah norma-norma (yang berlaku di sebuah masyarakat) adalah sebuah kesepakatan yang disetujui oleh para anggotanya atau norma-norma tersebut muncul dari sebuah realita nyata yang disingkap oleh akal sehat dan wahyu lalu dipersembahkan kepada manusia?

Tidak diragukan lagi bahwa dua cara pandang di atas akan membentuk dua jenis budaya yang berbeda. Pertama, satu budaya yang  menegaskan bahwa segala norma mengikuti kesepakatan masyarakat, dan konsekuensinya adalah ia akan beranggapan bahwa etika adalah satu hal yang relatif dan selalu berubah sesuai dengan keinginan manusia. Kedua, sebuah budaya yang berpendapat bahwa norma itu bersumber dari sebuah realitas yang terlepas dari kehendak manusia. Realitas itu mengisi seluruh jagad raya ini dan eksistensinya dapat diketahui melalui panduan akal dan wahyu. Realitas ini tidak mengalami perubahan dan perombakan seiring dengan berubahnya keinginan dan kehendak manusia.

Atas dasar ini, keberartian kehidupan manusia bergantung kepada pandangan dunia dan cara manusia menilai dirinya sendiri. Pandangan dunia ini, dengan sendirinya, akan membentuk sebuah sistem akidah (dalam dirinya), dan pada akhirnya sistem akidah yang dimilikinya akan membentuk mementuk serangkaian norma (dalam kesehariannya).

Dari satu sisi, karena semua perilaku manusia yang bersifat bebas tergantung kepada kehendaknya, dan kehendaknya terbentuk oleh cara berpikir dan sistem norma yang diyakininya, mau tidak mau semua perilakunya akan  mengikuti sistem norma tersebut.

Pendekanya, keberartian kehidupan manusia bergantung kepada perilaku dan amalan yang dipengaruhi oleh sistem norma dan akidah yang diyakini oleh sebuah masyarakat. Dalam perspektif Islam, pandangan dunia yang dapat dipertanggungjawabkan dan dibuktikan secara argumentatif  dan logis hanyalah pandangan dunia Islam. Dimana hal ini telah kami singgung dalam artikel “Ragam Pandangan Dunia” yang menegaskan klaim ini. Sebagai konsekuensinya, hanya sistem akidah dan norma Islamlah yang dapat dibenarkan. Dengan demikian, kita sebagai Muslim berasumsi bahwa faktor pemberi makna dan penentu arah kehidupan manusia adalah agama. Oleh karena itu, definisi ketiga budaya di atas sesuai dengan dan sejalan dengan agama, kecuali jika meyakini bahwa organ-organ pembentuk budaya tersebut lebih sedikit dari organ-organ pembentuk agama. Misalnya, kita meyakini bahwa organ pembentuk budaya hanya sistem norma dan perilaku yang ada di sebuah masyarakat. Dalam hal ini budaya adalah bagian dari agama.

 

Perlu diingat, sistem norma yang ada di sebagian negara yang dihuni oleh masyarakat bergama kadang-kadang didefinisikan secara lebih luas dari sistem norma yang diilhami oleh agama. Jika demikian halnya, dalam negara tersebut akan ada dua sisten norma yang dominan: Pertama, norma-norma permanen dan tetap yang bersumber dari agama, dan kedua norma-norma yang dapat berubah setiap saat. Dan tidak diragukan lagi bahwa perubahan-perubahan yang terjadi atas kelompok kedua norma tersebut tidak akan mempengaruhi kelompok pertama norma di atas. Hal ini dikarenakan masing-masing kelompok itu berasal dari sumber yang berbeda. Adapun pertanyaan Anda berupa penetrasi budaya Arab dalam agama Islam, Insya Allah akan kami utarakan pada kesempatan mendatang. Ihwal apakah agama adalah budaya itu sendiri, tentu saja tidak demikian. Terima kasih.  [www.wisdoms4all.com]

 
  Today, there have been 40 visitors (55 hits) on this page!  
 
Semoga Bermanfaat
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free