WELCOME

   
  deryjamaluddin
  Peserta didik dalam Pendidikan Agama Islam
 

BAB I

PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bimbingan dan pertolongan secara sadar yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik sesuai dengan perkembangan jasmaniah dan rohaniah ke arah kedewasaan. Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik. [1]

Hal ini sebagaimana Firman Allah SWT:

óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S Ar-Rum : 30)

Dilihat dari segi kedudukannya, peserta didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses pekembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisiten menuju ke arah titik optimal kemampuan fitrahnya.[2] Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan fitrah anak didik.

Berkaitan dengan hal di atas, maka peseta didik dalam pendidikan Islam memiliki aspek-aspek penting yang perlu kita kaji dan kembangkan dalam kajian pendidikan. Oleh karena itu, pada pembahasan kali ini kami akan menjelaskan tentang pengertian peserta didik dalam pendidikan Islam, kebutuhan-kebutuhan peserta didik, karakteristik peserta didik, dan sifat-sifat serta kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam.

B.            Rumusan Masalah

1.                  Apa yang dimaksud peserta didik ?

2.                  Apakah yang dimaksud dengan peserta didik dalam pendidikan Islam?

3.                  Apa kebutuhan-kebutuhan peserta didik dalam pendidikan Islam?

4.                  Bagaimana karakteristik peserta didik dalam pendidikan Islam?

5.                  Bagaimana sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A.           Definisi Peserta Didik

Secara etimologi peserta didik adalah anak didik yang mendapat pengajaran ilmu. Secara terminologi peserta didik adalah anak didik atau individu yang mengalami perubahan, perkembangan sehingga masih memerlukan bimbingan dan dan arahan dalam membentuk kepribadian serta sebagai bagian dari struktural proses pendidikan. Dengan kata lain peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran.[3]

Peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hidupnya selalu dalam perkembangan. Kaitannya dengan pendidikan adalah bahwa perkembangan peserta didik itu selalu menuju kedewasaan dimana semuanya itu terjadi karena adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh pendidik[4]

Siswa atau peserta didik adalah salah satu komponen manusia yang menempati posisi sentral dalam proses belajar-mengajar, peserta didiklah yang menjadi pokok persoalan dan sebagai tumpuan perhatian. Di dalam proses belajar mengajar, siswa sebagai pihak yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Peserta didik itu akan menjadi faktor “penentu”, sehingga menuntut dan dapat mempengaruhi segala sesuatu yang diperlukan untuk mencapai tujuan belajarnya.[5] Itulah sebabnya sisa atau peserta didik adalah merupakan subjek belajar.

B.            Definisi Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Dengan berpijak pada paradigma “belajar sepanjang masa”, maka istilah yang tepat untuk menyebut individu yang menuntut ilmu adalah peserta didik dan bukan anak didik. Peserta didik cakupannya lebih luas, yang tidak hanya melibatkan anak-anak, tetapi juga pada orang-orang dewasa. Sementara istilah anak didik hanya dikhususkan bagi individu yang berusia kanak-kanak. Penyebutan peserta didik ini juga mengisyaratkan bahwa lembaga pendidikan tidak hanya di sekolah (pendidikan formal), tapi juga lembaga pendidikan di masyarakat, seperti Majelis Taklim, Paguyuban, dan sebagainya.[6]

Secara etimologi, murid berarti “orang yang menghendaki”. Sedangkan menurut arti terminologi, murid adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). Sedangkan thalib secara bahasa berarti orang yang mencari, sedangkan menurut istilah tasawuf adalah penempuh jalan spiritual, dimana ia berusaha keras menempuh dirinya untuk mencapai derajat sufi. Penyebutan murid ini juga dipakai untuk menyebut peserta didik pada sekolah tingkat dasar dan menengah, sementara untuk perguruan tinggi lazimnya disebut dengan mahasiswa.[7]

Peserta didik adalah amanat bagi para pendidiknya. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan, niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik, selanjutnya memperoleh kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap mu’alim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya. Sebaliknya, jika peserta didik dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang dilepaskan beitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang yang celaka dan binasa.[8]

Sama halnya dengan teori barat, peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Definisi tersebut memberi arti bahwa peserta didik merupakan individu yang belum dewasa, yang karenanya memerlukan orang lain untuk menjadikan dirinya dewasa. Anak kandung adalah peserta didik dalam keluarga, murid adalah peserta didik di sekolah, dan umat beragama menjadi peserta didik masyarakat sekitarnya, dan umat beragama menjadi peserta didik ruhaniawan dalam suatu agama.[9]

Dengan demikian dalam konsep pendidikan Islam, tugas mengajar, mendidik, dan memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya untuk meraih surga. Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan mejerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan tugas ini, terlebih lagi Nabi bersabda[10]:

 

أَكْرِمُوْااَبْنَاءَكُمْ وَأَحْسِنُوْا اَدَبَهُمْ

“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah mereka dengan baik” (hadits diketengahkan oleh Ibnu Majah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya dha’if)

Menurut Langeveld anak manusia itu memerlukan pendidikan, karena ia berada dalam keadaan tidak berdaya (hulpeoosheid).[11] Dalam Al-Quran dijelakan:

وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.(QS. An-Nahl: 78)

Peserta didik di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus dapat bimbingan sepenuhnya dari pendidik, karena menurut ajaran Islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci/fitrah sedangkan alam sekitarnya akan memberi corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan agama peserta didik.[12]

 Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW., yang berbunyi:

مَامِنْ مَوْلُوْدٍ اِلَّايُوْلَدُعلَىَ الْفِطْرَةِ فَاَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِ اَوْيُنَصِّرَانِهِ اَوْيُمَجِّسَانِهِ (رواه مسلم)

Artinya: “Tidaklah anak yang dilahirkan itu kecuali telah membaa fitrah (kecenderungan untuk percaya kepada Allah), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut beragama Yahudi, Nasrani, Majusi (HR. Muslim)

Menurut hadis ini manusia lahir membawa kemampuan-kemampuan; kemampuan itulah yang disebut pembawaan. Fitrah yang disebut di dalam hadis itu adalah potensi. Potensi adalah kemampuan; jadi fitrah yang dimaksud disini adalah pembawaan. Ayah-ibu dalam hadis ini adalah lingkungan sebagaimana yang dimaksud oleh para ahli pendidikan. Kedua-duanya itulah, menurut hadis ini, yang menentukan perkembangan seseorang.[13]

Manusia memepunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh banyak potensi yang dibawanya. Dalam garis besarnya, kecenderungan itu dapat dibagi dua, yaitu kecenderungan menjadi orang yang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat. Kecenderungan beragama termasuk ke dalam kecenderungan menjadi baik.[14]

Firman Allah dalam Al-Quran surat Ar-Rum ayat 30:

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. Ar-Rum: 30)

Dari ayat dan hadits tersebut jelaslah bahwa pada dasarnya anak itu telah membawa fitrah beragama, dan kemudian bergantung kepada para pendidiknya dalam mengembangkan fitrah itu sendiri sesuai dengan usia anak dalam pertumbuhannya. Dasar-dasar pendidikan agama ini harus sudah ditanamkan sejak peserta didik itu masih usia muda, karena kalau tidak demikian kemungkinan mengalami kesulitan kelak untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang diberikan pada masa dewasa. Dengan demikian, maka agar pendidikan Islam dapat berhasil dengan sebaik-baiknya haruslah menempuh jalan pendidikan yang sesuai dengan perkembangan peserta didik, seperti disebutkan dalam hadits Nabi:

خَاطِبوُاالنَّاسَ عَلىَ قُلُوْبِهِمْ (الحديث)

“Berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan tingkat perkembangan akalnya” (Al-Hadits)

C.            Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik

Kebutuhan peserta didik adalah sesuatu kebutuhan yang harus didapatkan oleh peserta didik untuk mendapatkan kedewasaan ilmu. Kebutuhan peserta didik tersebut wajib dipenuhi atau diberikan oleh pendidik kepada peserta didiknya. Menurut Ramayulis, ada delapan kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu:

a.       Kebutuhan Fisik

Fisik seorang anak didik selalu mengalami pertumbuhan yang cukup pesat. Proses pertumbuhan fisik ini terbagi menjadi tiga tahapan:

1)             Peserta didik pada usia 0-7 tahun, pada masa ini peserta didik masih mengalami masa kanak-kanak

2)              Peserta didik pada usia 7-14 tahun, pada usia ini biasanya peserta didik tengah mengalami masa sekolah yang didukung dengan peralihan pendidikan formal.

3)             Peserta didik pada usia 14-21 tahun, pada masa ini peserta didik mulai mengalami masa pubertas yang akan membawa kepada kedewasaan.[15]

b.      Kebutuhan Sosial

Adalah kebutuhan yang berhubungan langsung dengan masyarakat agar peserta didik dapat berinteraksi dengan masyarakat lingkungan. Begitu juga supaya dapat diterima oleh orang lebih tinggi dari dia seperti orang tuanya, guru-gurunya dan pemimpinnya. Kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh kebutuhan ini perlu agar peserta didik dapat memperoleh  posisi dan berprestasi dalam pendidikan.[16]

c.       Kebutuhan untuk Mendapatkan Status

Dalam proses kebutuan ini biasanaya seorang peseta didik ingin menjadi orang yang dapat dibanggakan atau dapat menjadi seorang yang benar-benar berguna dan dapat berbaur secara sempurna di dalam sebuah lingkungan masyarakat

d.      Kebutuhan Mandiri

Kebutuhan mandiri ini pada dasarnya memiliki tujuan utama yaitu untuk menghindarkan sifat pemberontak pada diri peserta didik, serta menghilangkan rasa tidak puas akan kepercayaan dari orang tua atau pendidik karena ketika seorang peserta didik terlalu mendapat kekangan akan sangat menghambat daya kreativitas dan kepercayaan diri untuk berkembang

e.       Kebutuhan untuk berprestasi

f.       Kebutuhan ingin disayangi dan dicintai

g.      Kebutuhan untuk curhat

h.      Kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup

Peserta didik memiliki beberapa dimensi penting yang mempengaruhi akan perkembangan peserta didik, dimensi ini harus diperhatikan secara baik oleh pendidik dalam rangka mencetak peserta didik yang berakhlak mulia dan dapat disebut insan kamil dimensi fisik (jasmani), akal, keberagamaan, akhlak, rohani (kejiwaan), seni (keindahan), sosial.

Di dalam proses pendidikan seorang peserta didik yang berpotensi adalah objek atau tujuan dari sebuah sistem pendidikan yang secara langsung berperan sebagai subjek atau individu yang perlu mendapat pengakuan dari lingkungan sesuai dengan keberadaan individu itu sendiri. Sehingga dengan pengakuan tersebut seorang peserta didik akan mengenal lingkungan dan mampu berkembang dan membentuk kepribadian sesuai dengan lingkungan yang dipilihnya dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya pada lingkungan tersebut. Adapun hal-hal yang harus dipahami adalah:

o      Kebutuhannya

o      Dimensi-dimensinya

o      Intelegensinya

o      Kepribadiannya.[17]

D.           Karakteristik Peserta Didik

Beberapa hal yang perlu dipahami mengenai karakteristik peserta didik adalah:

1)      Peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa. Orang dewasa tidak patut mengeksploitasi dunia peserta didik, dengan mematuhi segala aturan dan keinginannya, sehingga peserta didik kehilangan dunianya.

2)      Peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin. Kebutuhan individu, menurut Abraham Maslow, terdapat lima hierarki kebutuhan yang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu: (1) kebutuhan-kebutuhan tahap dasar (basic needs) yang meliputi kebutuhan fisik, rasa aman dan terjamin, cinta dan ikut memiliki (sosial), dan harga diri; dan (2) metakebutuhan-metakebutuhan (meta needs), meliputi apa saja yang terkandung dalam aktualisasi diri, seperti keadilan, kebaikan, keindahan, keteraturan, kesatuan, dan lain sebagainya. Sekalipun demikian, masih ada kebutuhan lan yang tidak terjangkau kelima hierarki kebutuhan itu, yaitu kebutuhan akan transendensi kepada Tuhan. Individu yang melakukan ibadah sesungguhnya tidak dapat dijelaskan dengan kelima hierarki kebutuhan tersebut, sebab akhir dari aktivitasnya hanyalah keikhlasan dan ridha dari Allah SWT.

3)      Peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, baik perbedaan yang disebabkan dari factor endogen (fitrah) maupun eksogen (lingkungan) yang meliputi segi jasmani, intelegensi, sosial, bakat, minat, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pesrta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. Sesuai dengan hakikat manusia, peserta didik sebagai makhluk monopluralis, maka pribadi peserta didik walaupun terdiri dari dari banyak segi, merupakan satu kesatuan jiwa raga (cipta, rasa dan karsa)

4)      Peserta didik merupakan subjek dan objek sekaligus dalam pendidikan yang dimungkinkan dapat aktif, kreatif, serta produktif. Setiap peserta didik memiliki aktivitas sendiri (swadaya) dan kreatifitas sendiri (daya cipta), sehingga dalam pendidikan tidak hanya memandang anak sebagai objek pasif yang bisanya hanya menerima, mendengarkan saja.

5)      Peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya. Implikasi dalam pendidikan adalah bagaimana proses pendidikan itu dapat disesuaikan dengan pola dan tempo, serta irama perkembangan peseta didik. Kadar kemampuan peserta didik sangat ditentukan oleh usia dan priode perkembangannya, karena usia itu bisa menentukan tingkat pengetahuan, intelektual, emosi, bakat, minat peserta didik, baik dilihat dari dimensi biologis, psikologis, maupun dedaktis. [18]

E.            Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung. Al-Ghazali, yang dikutip oleh Fathiyah Hasan Sulaiman, merumuskan sebelas pokok kode etik peserta didik, yaitu:

1)      Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT, sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang tepuji (tahalli) (perhatikan QS. Al-An’am: 162, Al-Dzariyat: 56).

2)      Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. Adl-Dluha: 4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pkerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT.

3)      Bersikap tawadlu’ (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidikannya. Sekalipunia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidikanya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah.

4)      Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar.

5)      Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya.

6)      Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu ‘ain menuju ilmu yang  fardlu kifayah (QS. Al-Insyiqaq: 19).

7)      Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. Al-Insyirah: 7)

8)      Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah.

9)      Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi.

10)  Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat.

11)  Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik. [19]

Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Adapun syarat-syarat tersebut, yaitu[20]:

a)             Memiliki kcerdasan (dzaka’); yaitu penalaran, imajinasi, wawasan (insight), pertimbangan dan daya penyesuaian sebagai proses mental yang dilakukan secara cepat dan tepat. Kecerdasan kemudian berkembang dalam tiga definisi, yaitu: (1) kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif; (2) kemampuan menggunakan konsep abstrak secara efektif, yang meliputi empat unsur, seperti memahami, berpendapat, mengontrol, dan mengkritik; dan (3) kemampuan memahami pertalian-pertalian dan belajar dengan cepat sekali.[21]

          Jenis-jenis kecerdasan meliputi; (1) kecerdasan intelektual yang menggunakan otak kiri dalam berpikir linear; (2) kecerdasan emosional, yang menggunakan otak kanan/intuisi dalam berpikir asosiatif; (3) kecerdasan moral, yang menggunakan tolak ukur baik buruk dalam bertindak; (4) kecerdasan spiritual, yang mampu memaknai terhadap apa yang dialami dengan mengguanakan otak unitif; (5) kecerdasan qalbiyah atau ruhaniyah yang puncaknya pada ketakwaan diri kepada Allah SWT.

b)             Memiliki hasrat (hirsah), yaitu kemauan, gairah, moril dan motivasi yang tinggidalam mencari ilmu, serta tidak merasa puas terhadap ilmu yang diperolehnya. Hasrat ini menjadi penting sebagai persyaratan dalam pendidikan, sebab persoalan manusia tidak sekedar mampu (qudrah) tetapi juga mau (iradah). Simbiotis antara mampu (yang diwakili kecerdasan) dan mau (yang diwakili hasrat) akan menghasilkan kompetensi dan kualifikasi pendidikan yang maksimal.         Motivasi belajar dalam Islam adalah agar seseorang dapat mengenal (ma’arifah) pada Allah SWT., karena Dia hanya mengangkat derajat bagi mereka yang beriman dan berilmu (QS. Al-Mujadilah: 11. Az-Zumar: 9)

c)                       Bersabar dan tabah (isthibar) serta tidak mudah putus asa dalam belajar, walaupun banyak rintangan dan hambatan, baik hambatan ekonomi, psikologis, sosiologis, politik, bahkan administatif. Sabar adalah menahan (al-habs) diri, atau lebih tepatnya mengendalikan diri, yaitu menhindarkan seseorang dari perasaan resah, cemas, marah, dan kekacauan terutama dalam proses belajar. Sabar juga meliputi menghindari maksiat, melaksanakan perintah, dan menerima cobaan dalam proses pendidikan (QS. Ali Imran: 200). Menurut Al-Ghazali, sabar terkait dengan dua aspek, yaitu: Pertama, fisik (badanî), yaitu menahan diri dari kesulitan dan kelelahan badan dalam belajar. Dalam kesabaran ini sering kali mendatangkan rasa sakit, luka dan memikul beban yang berat; kedua, psikis (nafsi), yaitu menahan diri dari natur dan tuntutan hawa nafsu yang mengarahkan seseorang meninggalkan pertimbangan rasional dalam mencari ilmu.

d)            Mempunyai seperangkat modal dan sarana (bulghah) yang memadai dalam belajar. Dalam hal ini, biaya dan dana pendidikan menjadi penting, yang digunakan untuk kepentingan honor pendidik, membeli buku dan peralatan sekolah, dan biaya pengembangan pendidikan secara luas. Secara spiritual, inilah investasi yang hakiki dan abadi yang dapat dinikmati untuk jangka panjang dan masa depan di akhirat

e)             Adanya petunjuk pendidik (irsyad ustadz), sehingga tidak terjadi salah pengertian (misunderstanding) terhadap apa yang dipelajari. Dalam belajar, seseorang dapat melakukan metode autodidak, yaitu belajar secara mandiri tanpa bantuan siapa pun. Sekalipun demikian, pendidikan masih tetap berperan pada peserta didik dalam menunjukkan bagaimana metode belajar yang efektif berdasarkan pengalaman sebagai seorang dewasa, serta yang terpenting, pendidik sebagai sosok yang perilakunya sebagai suri tauladan bagi peserta didik. Dalam banyak hal, interaksi pendidikan tidak dapat digantikan dengan membaca, melihat dan mendengar jarak jauh, tetapi dibutuhkan face to face antara kedua belah pihak yang didasarkan atas suasana psikologis penuh empati, simpati, atensi, kehangatan, dan kewibawaan.

f)              Masa yang panjang (thuwl al-zaman), yaitu belajar tiada henti dalam mencari ilmu (no limits to study) sampai pada akhir hayat, min mahdi ila lahdi (dari buaian sampai liang lahat). Syarat ini berimplikasikan bahwa belajar tidak hanya di bangku kelas atau kuliah, tetapi semua tempat yang menyediakan informasi tentang pengembangan kepribadian, pengetahuan, dan keterampilan adalah termasuk juga lembaga pendidikan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

SIMPULAN

o   Peserta didik adalah seorang individu yang tengah mengalami fase perkembangan atau pertumbuhan baik dari segi fisik dan mental maupun fikiran

o   Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak.

o   Kebutuhan peserta didik yang harus dipenuhi, yaitu: kebutuhan fisik, kebutuhan social, kebutuhan untuk mendapatkan status, kebutuhan mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin disayangi dan dicintai, kebutuhan untuk curhat, kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup.

o   Karakteristik peserta didik diantaranya: (a) peserta didik bukan miniatur orang dewasa, ia mempunyai dunia sendiri, sehingga metode belajar mengajar tidak boleh dilaksanakan dengan orang dewasa, (b) peserta didik memiliki kebutuhan dan menuntut untuk pemenuhan kebutuhan itu semaksimal mungkin, (c) peserta didik memiliki perbedaan antara individu dengan individu yang lain, (d) peserta didik dipandang sebagai kesatuan sistem manusia. (e) peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan, (f) peserta didik mengikuti periode-periode perkembangan tertentu dalam mempunyai pola perkembangan serta tempo dan iramanya.

o   Sifat-sifat dan kode etik peserta didik dalam pendidikan Islam yaitu;  (1) belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT (2) mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (3) bersikap tawadlu’ (rendah hati) (4) menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.(5) mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah) (6) belajar dengan bertahap (7) belajar ilmu sampai tuntas. (8) mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari. (9) memprioritaskan ilmu diniyah. (10) mengenal nilai-nilai pragmatis (11) peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik

 

 

 

 

PESERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM

Makalah

 

diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada

mata kuliah Ilmu Pendidikan Islam

yang dibina oleh:

Hj. Ade Aisyah, M.Ag

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 1

 

Rida Khoiriah            208 203 465

Mohammad  Zaki A. 208 203 475

Noneng                      208 203 444

Qorie Hizratul M.      208 203 460

Rini Yuliawati           208 203 470

 

PAI/ D/ V

 

 

 

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2010

DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi

DAFTAR ISIii

BAB I PENDAHULUAN1

A.    Latar Belakang Masalah1

B.     Rumusan Masalah2

BAB II PEERTA DIDIK DALAM PENDIDIKAN ISLAM3

A.  Definisi Peserta Didik 3

B.  Definisi Peserta Didik dalam Pendiidkan Islam3

C.  Kebutuhan-Kebutuhan Peserta Didik 6

C.     Karakteristik Peserta Didik 8

D.    Sifat-Sifat dan Kode Etik Peserta Didik dalam Pendidikan Islam 9

BAB III SIMPULAN13

DAFTAR PUSTAKA14

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman, Jamal, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008)

Ahmadi,Abu, dkk., Ilmu Pendidikan, (Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2006), cet. 2.

Ali, M. Nashir, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982).

Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1.

Mujib, Abdul,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2.

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006.

Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010).

Tafsir, Ahmad,  Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008), cet. 8.

Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), cet. 2.

Misbakhudinmunir.wodrpress.com.

www.sit-alkarima.com/konseppendidikanIslam.

 



[1] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1995), cet. 2, h. 170.

[2] H.M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), cet. 1, h. 144

[3] Misbakhudinmunir.wodrpress.com

[5] Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h.111.

[6] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2, h. 103.

[7] Abdul Mujib, Ibid., h. 104

[8] Jamal Abdul Rahman, Tahapan Mendidik Anak, Penerjemah : Bahrun Abu Bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung : Irsyad Baitus salam, 2008) h. 16.

[9] Abdul Mujib, Op. Cit., , h. 103.

[10] Jamal Abdul Rahman, Op. Cit., h. 17.

[11] M. Nashir Ali, Dasar-Dasar Ilmu Mendidik, (Jakarta: Mutiara, 1982). h. 93.

[12] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), cet. 2, h. 170.

[13] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008), cet. 8, h. 35.

[14] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosda Karya,  2008), cet. 8. h. 35

[15] Abu Ahmadi & Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarat : PT. Rineka Cipta, 2006), cet. 2, h. 42.

[16] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, h. 78

[17] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2006, h. 78

[18] Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2, h. 105-106.

[19] Abdul Mujib, ibid., h. 113-114

[20] Burhan Ilham al-Zarnuzi dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2, h. 115.

[21] J. P Chaplin, dalam Abdul Mujib, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), cet. 2, h. 116.

 
  Today, there have been 2 visitors (3 hits) on this page!  
 
Semoga Bermanfaat
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free