WELCOME

   
  deryjamaluddin
  STRATEGI PEMBELAJARAN PKn DAN IPS
 
STRATEGI PEMBELAJARAN PKn DAN IPS


A.  Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Kompetensi Supervisi Akademik merupakan salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pengawas satuan pendidikan. Kompetensi ini berke-naan dengan kemampuan pengawas dalam rangka pembinaan dan pengem-bangan kemampuan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan bim-bingan di sekolah/satuan pendidikan. Secara spesifik pengawas satuan pendi-dikan harus memiliki kemampuan untuk membantu guru dalam memahami dan mengembangkan substansi tiap mata pelajaran atau rumpun mata pelajar-an khususnya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan.
Berdasarkan tataran empiris dan kontekstual masih terlihat jelas adanya kesenjangan antara tataran normatif dengan fenomena ideologis, sosial, poli-tik, dan cultural dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara RI. Tataran normatif sejak kita merdeka sudah terukir dengan indah apa yang menjadi komitmen kita bersama sebagai sebuah bangsa yaitu: “Pemerintah Negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial….” (Pembukaan UUD 1945). Komitmen kebangsaan yang sangat tinggi yang tertulis secara norma-tif dengan kenyataan yang ditampilkan masih perlu pembenahan. Kesenjang-an ini terus bergulir, puncaknya adalah krisis nasional, yang dikenal dengan kisis multidimensi. Untuk itu maka perlu pendidikan yang efektif dan bermu-tu.
Salah satu masalah yang terkait dengan penerapan esensi pendidikan il-mu pengetahuan sosial contohnya mata pelajaran kewarganegaraan adalah memudarnya rasa nasionalisme dan patriotisme dan munculnya arogansi ke-sukuan dan golongan yang merusak sendi-sendi demokratisasi.
Salah satu upaya untuk mengatasi masalah memudarnya rasa nasionalis-me dan patriotisme dalam memperjuangkan jati diri bangsa Indonesia dalam persaingan global dan memudarnya integrasi nasional, maka diperlukan sosi-alisasi hasil kajian esensi pendidikan kewarganegaraan dan sosialisasi bagai-mana pembelajarannya agar mampu memperkuat revitalisasi nasionalisme In-donesia menuju character and nation building sebagai tumpuan harapan pen-didikan masa depan. Juga dapat memperkuat kembali komitmen kebangsaan yang selama ini mulai memudar dengan tekad memperjuangkan bangsa Indo-nesia yang berkualitas dan bermartabat. Dengan demikian maka Pendidikan Kewarganegaraan sebagai pendidikan politik dan moral bangsa adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa ditawar untuk tetap eksis dan maju ke arah paradig-ma baru yang terkenal dengan arah baru atau paradigma moderat.
Menurut Malik Fajar (2004: 4) sejak tahun 1994, pembelajaran PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (instrumental input) terutama yang berkaitan de-ngan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis.
Beberapa petunjuk empiris menyangkut permasalahan tersebut antara lain sebagai berikut. Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam IPS lebih menekankan pada aspek instruksional yang sangat terbatas, yaitu pada penguasaan materi (content mastery). Dengan kata lain lebih menekankan pada dimensi kognitifnya sehingga telah mengabaikan sisi lain yang penting, yaitu pembentukan watak dan karakter yang sesungguhnya menjadi fungsi dan tujuan utama IPS. Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana yang kondusif untuk berkembangnya pengalaman belajar siswa yang dapat menjadi landasan untuk berkembangnya kemampuan intelektual siswa (state of mind ). Proses pembelajaran yang bersifat “satu arah” dan pasif baik di dalam maupun di luar kelas telah berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) dalam proses pembentukan wa-tak dan perilaku siwa. Untuk itu sangat penting bagi kita untuk membangun model-model pembelajaran khususnya dalam IPS dalam rangka, menciptakan proses belajar yang menyenangkan, mengasyikkan, sekaligus mencerdaskan. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ektra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis melalui pemanfaatan “ hands-on experience” juga belum berkembang sehing-ga belum memberikan kontribusi yang berarti dalam menyeimbangkan antara penguasaan teori dan pembinaan perilaku, khususnya yang berkaitan dengan
pembiasaan hidup yang terampil dalam suasana yang demokratis dan sadar hukum.
Kompleksitas permasalahan yang melukiskan betapa banyaknya kenda-la kurikuler dan sosio-kultural dalam pembelajaran IPS untuk mencapai hasil belajar yang menyeluruh, yang dalam pendekatan pembelajaran kontekstual merupakan prinsip penting apabila kurikulum berbasis kompetensi atau kepri-badian yang diusulkan oleh Winataputra (2004: 21). Khususnya dalam mena-namkan sikap, nilai dan perilaku yang dapat dijadikan landasan untuk mem-bentuk watak dan karakter para siswa didik dalam konteks negara-bangsa In-donesia.
Empat pilar belajar yang diperkenalkan oleh UNESCO dalam Soedijar-to (2004: 10-18) yaitu learning to know, seperti telah dikemukakan oleh Philip Phoenix, proses pembelajaran yang mengutamakan penguasaan ways of knowing atau mode of inquire telah memungkinkan siswa untuk terus belajar dan mampu memperoleh pengetahuan baru dan tidak hanya memperoleh pe-ngetahuan dari hasil penelitian orang lain, melainkan dari hasil penelitiannya sendiri. Karena itu, hakikat dari learning to know adalah proses pembelajaran yang memungkinkan siswa menguasai tehnik menemukan pengetahuan dan bukan semata-mata hanya memperoleh pengetahuan. Learning to do yaitu pembelajaran untuk mencapai kemampuan untuk melaksanakan controlling, monitoring, maintaining, designing, organizing. Belajar ini terkait dengan be-lajar melakukan sesuatu dalam situasi yang konkret yang tidak hanya terbatas kepada penguasaan keterampilan mekanistis melainkan meliputi kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi konflik, menjadi pekerjaan yang penting.
Learning to live together yaitu membekali siswa kemampuan untuk hi-dup bersama dengan orang lain yang berbeda, dengan penuh toleransi, saling pengertian dan tanpa prasangka. Dalam hubungan ini, prinsip relevansi sosial dan moral. Learning to be, keberhasilan pembelajaran untuk mencapai  pada tingkatan ini diperlukan dukungan keberhasilan dari pilar pertama, kedua, dan ketiga, yaitu : tiga pilar yaitu learning to know, learning to do, dan learnig to live together ditujukan bagi lahirnya siswa didik yang mampu mencari infor-masi dan menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu memecahkan masalah, dan mampu bekerja sama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan.
Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa didik, sehingga menjadi manusia yang mampu menge-nal dirinya, yakni manusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri. Manusia yang utuh yang memiliki kemantapan emosional dan intelektual, yang mengenal dirinya, yang dapat mengendalikan dirinya dengan konsisten dan memiliki rasa empati (tepo seliro), atau disebut memiliki Emotional Intelligence.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sis-tem Pendidikan Nasional, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan peru-bahan zaman”. Pasal 37 menyebutkan bahwa, ”Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan Agama; (b) pendidikan Kewar-ganegaraan; (c) Bahasa; (d) Matematika;(e) Ilmu Pengetahuan Alam; (f) Ilmu Pengetahuan Sosial; (g) Seni dan Budaya; (h) Pendidikan Jasmani dan Olah-raga; (i) Keterampilan/Kejuruan; dan (j) Muatan Lokal”.Dari isi Undang-Un-dang Sisdiknas di atas jelas eksistensi PKn dalam kurikulum persekolahan adalah berdiri sendiri sebagai mata pelajaran.
Istilah yang sering digunakan selain PKn adalah civics. Henry Randall Waite (1886) seperti dikutip oleh Sumantri (2001: 281) merumuskan penger-tian Civics sebagai ilmu kewarganegaraan yang membicarakan hubungan ma-nusia dengan: (a) perkumpulan yang terorganisir (organisasi sosial, organisasi ekonomi, dan organisasi politik); dan (b) individu dengan negara. Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan civics adalah citizenship.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu dari lima tradisi Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yakni citizenship tranmission, saat ini sudah berkembang menjadi tiga aspek pendidikan Kewarganegaraan (citizenship education), yakni aspek akademis, aspek kurikuler, dan aspek social budaya. Secara akademis pendidikan kewarganegaraan dapat didefinisikan sebagai su-atu bidang kajian yang memusatkan telaahannya pada seluruh dimensi psiko-logis dan sosial budaya kewarganegaraan individu, dengan menggunakan il-mu politik, ilmu pendidikan sebagai landasan kajiannya atauan penemuannya intinya yang diperkaya dengan disiplin ilmu lain yang relevan, dan mempunyai implikasi kebermanfatan terhadap instrumentasi dan praksis pendidikan seti-ap warga negara dalam konteks sistem pendidikan nasional (Wiranaputra, 2004).
Menurut Malik Fajar (2004: 6-8) bahwa PKn sebagai wahana untuk me-ngembangkan kemampuan, watak dan karakter warganegara yang demokratis dan bertanggungjawab, PKn memiliki peranan yang amat penting. Mengingat banyak permasalahan mengenai pelaksanaan PKn sampai saat ini, maka arah baru PKn perlu segera dikembangkan dan dituangkan dalam bentuk standar nasional, standar materi serta model-model pembelajaran yang efektif dalam mencapai tujuannya. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan sebagai arah ba-ru yaitu:
Pertama, PKn merupakan bidang kajian kewarganegaraan yang ditopang berbagai disiplin ilmu yang relevan, yaitu: ilmu politik, hukum, sosiologi, an-tropologi, psikologi, dan disiplin ilmu lainnya, yang digunakan sebagai landas-an untuk melakukan kajian-kajian terhadap proses pengembangan konsep, ni-lai, dan perilaku demokrasi warganegara. Kemampuan dasar terkait dengan kemampuan intelektual, sosial (berpikir,bersikap, bertindak, serta berpartisi-pasi dalam hidup bermasyarakat). Substansi pendidikan (cita-cita, nilai, dan konsep demokrasi) dijadikan materi kurikulum PKn yang bersumber pada pi-lar-pilar demokrasi konstitusional Indonesia.
Kedua, PKn mengembangkan daya nalar (state of mind) bagi para peser-ta didik. Pembangunan karakter bangsa merupakan proses pengembangan warga negara yang cerdas dan berdaya nalar tinggi. PKn memusatkan perhati-annya pada pengembangan kecerdasan (civic intelligence), tanggungjawab (civic responsibility), dan partisipasi (civic participation) warga negara seba-gai landasan pengembangan nilai dan perilaku demokrasi.
Ketiga, PKn sebagai suatu proses pencerdasan, maka pendekatan pem-belajaran yang digunakan adalah yang lebih inspiratif dan pertisipatif dengan menekankan pada pelatihan penggunaan logika dan penalaran.
Untuk memfasilitasi pembelajaran PKn yang efektif dikembangkan ba-han belajar interaktif yang dikemas dalam berbagai bentuk paket seperti ba-han belajar tercetak, terekam, tersiar, elektronik, dan bahan belajar yang diga-li dari lingkungan masyarakat sebagai pengalaman langsung. Di samping itu upaya peningkatan kualifikasi dan mutu guru PKn perlu dilakukan secara sis-tematis agar terjadinya kesinambungan antara pendidikan guru melalui LPTK, pelatihan dalam jabatan, serta pembinaan kemampuan profesional guru secara berkelanjutan dalam mengelola proses pembelajaran untuk mencapai hasil be-lajar yang diharapkan.
Keempat, kelas PKn sebagai laboratorium demokrasi. Melalui PKn, pe-mahaman, sikap, dan perilaku demokratis dikembangkan bukan semata-mata melalui ”mengajar demokrasi” (teaching democraty), tetapi melalui model pembelajaran yang secara langsung menerapkan cara hidup berdemokrasi (doing democray). Penilaian bukan semata-mata dimaksudkan sebagai alat kendali mutu tetapi juga sebagai alat untuk memberikan bantuan belajar bagi siswa sehingga dapat lebih berhasil di masa depan. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh termasuk portofolio siswa dan evaluasi diri yang lebih berbasis kelas.
Dari arah baru PKn yang diharapkan terealialisasikan dalam kehidupan nyata di sekolah maupun di masyarakat , yang terbentang ke seluruh Tanah Air. Untuk itu diperlukan pemahaman bersama untuk disosialisasikan dalam bentuk kerja nyata dalam pembentukan kepribadian siswa menjadi priibadi yang utuh, dan insan kamil yang menjadi tumpuan harapan kita bersama yak-ni dapat menjawab tantangan pembelajaran pada abad 21, yakni: (1) berpikir kritis dan menyelesaikan masalah-masalah; (2) kreatif dan inovasi; (3) kete-rampilan berkomunikasi dan menggali dan menyampaikan informasi; (4) ke-terampilan berkolaborasi; (5) pembelajaran kontekstual; dan (6) keterampilan menggunakan teknologi dan media komunikasi dan informasi.
Tidak mudah memang, namun bukan berarti tidak bisa dilakukan, semua sangat bergantung pada niat, dan dorongan kita bersama untuk memberikan dukungan, sehingga apa harapannya yang bersemangat berubah yang lebih penting adalah guru sebagai pelaku langsung di lapangan.
Selain itu juga akan terbangun budaya demokrasi, yang menjadi esensi materi pembelajaran yang perlu disampaikan oleh guru. Adapun prinsip-prin-sip demokrasi menurut Masykuri Abdullah (Dede Rosyada, 2003: 117-119) adalah persamaan, kebebasan dan pluralisme. Robert Dahl dalam tulisan yang sama, bahwa prinsip yang harus ada dalam demokrasi yaitu: (1) kontrol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan yang teliti dan jujur, (3) hak memilih dan dipilih, (4) kebebasan menyataan pendapat tanpa ancaman, (5) kebebasan mengakses informasi, dan (6) kebebasan berserikat. Sedangakn Amin Rais dalam Dede Rosyada (2003: 117-119) merumuskan kriteria lain dari parame-ter demokrasi adalah: (1) adanya partisipasi dalam pembuatan keputusan, dan (2) distrbusi pendapatan secara riil.

B. Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
    Kompetensi Supervisi Akademik merupakan salahsatu kompetensi yang harus dimiliki oleh para pengawas satuan pendidikan. Kompetensi ini berkenaan dengan kemampuan pengawas dalam rangka pembinaan dan pe-ngembangan kemampuan guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah/satuan pendidikan. Secara spesifik pengawas satuan pendidikan harus memiliki kemampuan untuk membantu guru dalam mema-hami dan mengembangkan substansi tiap mata pelajaran atau rumpun mata pelajaran khususnya mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial.
Istilah pendidikann IPS dalam menyelenggarakan pendidikan di Indone-sia masih relatif baru digunakan. Pendidikan IPS merupakan padanan dari so-sial studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut per-tama kali digunakan di AS pada tahun 1913 mengadopsi nama lembaga Sosi-al Studies yang mengembangkan kurikulum di AS (Marsh, 1980; Martoella, 1976).
Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (1990), merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu, Martoella (1987) mengatakan bahwa pembelajaran Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan” daripada “transfer konsep”, karena dalam pembela-jaran pendidikan IPS mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman terha-dap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan de-mikian, pembelajaran pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya.
Ada 10 konsep social studies dari NCSS, yaitu (1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people, places and environments; (4) individual development and identity; (5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and govermance; (7) production, distribution and consumption; (8) science, technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic ideals
 and practices. (NCSS http://www.social studies.org/standard/exec.html).
Konsep IPS, yaitu: (1) interaksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinam-bungan dan perubahan, (4) keragaman/kesamaan/perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola (patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai ke-percayaan, (10) keadilan dan pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) ke-khususan, (13) budaya (culture), dan (14) nasionalisme.
Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial (pensisikan IPS), para ahli se-ring mengaitkannya dengan berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut, Gross (1978) menyebutkan bahwa tujuan pen-didikan IPS adalah untuk memepersiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, secara tegas ia mengatakan “to prepare students to be well functioning citizens in a democratic society”. Tujuan lain dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan setiap per-soalan yang dihadapinya (Gross, 1978).
Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia de-ngan lingkungannya. Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai per-masalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS ber-usaha membantu mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang dihada-pi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkung-an sosial masyarakatnya (Kosasih, 1994).
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjtkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berda-sarkan pengertian dan tujuan dari pendidikan IPS, tampaknya dibutuhkan su-atu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan terse-but. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkat-kan (Kosasih, 1994), agar pembelajaran Pendidikan IPS benar-benar mampu mengondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi mahasiswa untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Hal ini dika-renakan pengondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapai-
nya tujuan pendidikan (Azis Wahab, 1986).
Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan pada mahasiswa. Penekanan pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencecoki atau menjejali mahasiswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang tekag dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih ting-gi. Di sinilah sebenarnya penekanan misi dari pendidikan IPS. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkab dan difokuskan sesu-ai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa (Kosasih, 1994; Hamid Hasan, 1996).
Karakteristik mata pembelajaran IPS berbeda dengan disiplin ilmu lain yang bersifat monolitik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Rumusan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas dan fenomena sosial melalui pendekatan interdisipliner.
Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memi-liki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah mem-berikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai perio-de. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi po-litik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pem-buatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu ten-tang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial.















Gambar 1 Keterpaduan Cabang Ilmu Pengetahuan Sosial

Karateristik mata pelajaran IPS SMA antara lain sebagai berikut.
a.    Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan gabungan dari unsur-unsur geografi, sejarah, ekonomi, hukum dan politik, kewarganegaraan, sosiologi, bahkan juga bidang humaniora, pendidikan dan agama (Numan Soemantri, 2001).
b.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS berasal dari struktur keil-muan geografi, sejarah, ekonomi, dan sosiologi, yang dikemas sedemiki-an rupa sehingga menjadi pokok bahasan atau topik (tema) tertentu.
c.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS juga menyangkut berba-gai masalah sosial yang dirumuskan dengan pendekatan interdisipliner dan multidisipliner.
d.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dapat menyangkut peristiwa dan perubahan kehidupan masyarakat dengan prinsip sebab akibat, kewi-layahan, adaptasi dan pengelolaan lingkungan, struktur, proses dan masa-lah sosial serta upaya-upaya perjuangan hidup agar survive seperti peme-nuhan kebutuhan, kekuasaan, keadilan dan jaminan keamanan (Daldjoeni, 1981).
e.    Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimen-si dalam mengkaji dan memahami fenomena sosial serta kehidupan ma-nusia secara keseluruhan. Ketiga dimensi tersebut terlihat pada tabel beri-kut.
Tabel 1 Cakupan dalam Pembelajaran IPS

Cakupan Pembelajaran IPS    Ruang    Waktu    Nilai/Norma
Area dan substansi pembelajaran    Alam sebagai tempat dan penye-dia potensi sum-ber daya    Alam dan kehidup-an yang selalu ber-proses, masa lalu, saat ini, dan yang akan dating    Acuan sikap dan pe-rilaku manusia berpa kaidah atau aturan yang menjadi perekat dan penjamin kehar-monisan kehidupan manusia dan alam
Contoh Kompetensi Dasar yang dikem-bangkan    Adaptasi spasial dan eksploratif    Berpikir kronologis, prospektif, antisipa-tif    Konsisten dengan aturan yang disepaka-ti dan kaidah alamiah masing-masing disi-plin ilmu
Alternatif penyajian dalam mata pelajaran    Geografi    Sejarah    Ekonomi, Sosiologi/ Antropologi
Sumber: Sardiman, 2004

C. Tujuan Pembelajaran PKn dan Ilmu Pengetahuan Sosial
1. Tujuan Pembelajaran PKn
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan adalah mendidik warga negara yang baik, yakni: (1) peka terhadap informasi baru yang dijadikan pengetahu-an dalam kehidupannya; (2) warga negara yang berketerampilan; (a) peka da-lam menyerap informasi; (b) mengorganisasi dan menggunakan informasi; (c) membina pola hubungan interpersonal dan partisipasi sosial; (3) warga ne-gara yang memiliki komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi, yang disyarat-kan dalam membangun suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan bera-dab, maka setiap warga negara haruslah memiliki karakter atau jiwa yang de-mokratis yang meliputi:
a.    Rasa hormat dan tanggungjawab terhadap sesama waga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebagai warga negara yang demokrat, seorang warga negara juga di-tuntut untuk turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antara etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.
b.    Bersikap kritis terhadap kenyataan empiris (realitas sosial, budaya, dan
politik) maupun terhadap kenyataan supra empiris (agama, mitologi, ke-percayaan). Sikap kritis juga harus ditunjukkan pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang ber-tanggung jawab terhadap apa yng dikritik.
c.    Membuka diskusi dan dialog yakni perbedaan dan pandangan serta perila-ku merupakan realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas war-ga negara, apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan multi-etnik. Untuk meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, maka membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog merupa-kan salah satu solusi yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap membu-ka diri untuk dialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap warga ne-gara yang demokrat.
d.    Bersikap terbuka yang merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebas-an sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan plura-lisme dan keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.
e.    Rasional yaitu memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu hal yang harus dilakukan. Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara, Sementara, sikap dan keputus-an yang diambil secara tidak rasional akan membawa implikasi emosional dan cenderung egois. Masalah-masalah yang terjadi di lingkungan warga negara, baik persoalan politik, sosial, budaya, dan sebagainya, sebaiknya dilakukan dengan keputusan-keputusan yang rasional.
f.    Adil adalah menempatkan sesuatu secara proporsional. Tidak ada tujuan baik yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Pengguna-an cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tu-juan-tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan. Mayoritas suara bukanlah diatur tetapi diperoleh.
g.    Jujur yaitu memiliki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupa-kan suatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya ke-selarasan diri keharmonisan hubungan antar warga negara. Sikap jujur bi-sa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan sebagainya. Keju-juran politik adalah bahwa kesejahteraan warga.

2.   Tujuan Pembelajaran IPS
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masya-rakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pembelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut da-pat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
a.    Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungan-nya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan ma-syarakat.
b.    Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan me-tode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat diguna-kan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
c.    Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di ma-syarakat.
d.    Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tin-dakan yang tepat.
e.    Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.
f.    Memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.
g.    Fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat meng-hakimi.
h.    Mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupan-nya “to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society’ dan mengembangkan kemampuan siswa mengunakan penalaran
dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.
i.    Menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan sis-wa terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan.
Di samping itu juga bertujuan bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran berupa: penerimaan, jawaban atau sambutan, penghargaan, pengorganisasian, karakteristik nilai, dan menceritakan.

D.  Model Pembelajaran Terpadu dalam IPS
Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan pen-dekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya meru-pakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik se-cara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996: 3). Salah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembe-lajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehing-ga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduk-si kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelaja-ri.
Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembe-lajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, pe-ristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.

1.  Model Integrasi Berdasarkan Topik
Dalam pembelajaran IPS keterpaduan dapat dilakukan berdasarkan to-pik yang terkait, misalnya ‘Kegiatan ekonomi penduduk’. Kegiatan ekonomi penduduk dalam contoh yang dikembangkan ditinjau dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam IPS. Kegiatan ekonomi penduduk dalam hal ini di-tinjau dari persebaran dan kondisi fisik-geografis yang tercakup dalam disi-plin Geografi.
Secara sosiologis, Kegiatan ekonomi penduduk dapat mempengaruhi
interaksi sosial di masyarakat atau sebaliknya. Secara historis dari waktu ke waktu kegiatan ekonomi penduduk selalu mengalami perubahan. Selanjutnya penguasaan konsep tentang jenis-jenis kegiatan ekonomi sampai pada taraf mampu menumbuhkan krteatifitas dan kemandirian dalam melakukan tindak-an ekonomi dapat dikembangkan melalui kompetensi yang berkaitan dengan ekonomi.
Skema berikut memberikan gambaran keterkaitan suatu topik/tema de-ngan berbagai disiplin ilmu.
 
Gambar 2 Model Integrasi IPS Berdasarkan Topik/Tema

2.    Model Integrasi Berdasarkan Potensi Utama
Keterpaduan IPS dapat dikembangkan melalui topik yang didasarkan pada potensi utama yang ada di wilayah setempat; sebagai contoh, “Potensi Bali Sebagai Daerah Tujuan Wisata”. Dalam pembelajaran yang dikembang-
kan dalam Kebudayaan Bali dikaji dan ditinjau dari faktor alam, historis kro-nologis dan kausalitas, serta perilaku masyarakat terhadap aturan. Melalui ka-jian potensi utama yang terdapat di daerahnya, maka peserta didik selain da-pat memahami kondisi daerahnya juga sekaligus memahami Kompetensi Da-sar yang terdapat pada beberapa disiplin yang tergabung dalam IPS .
 

Gambar 3 Model Integrasi IPS Berdasarkan Potensi Utama

3.  Model Integrasi Berdasarkan Permasalahan
Model pembelajaran terpadu pada IPS yang lainnya adalah berdasarkan permasalahan yang ada, contohnya adalah “Pemukiman Kumuh”. Pada pem-belajaran terpadu, Pemukiman Kumuh ditinjau dari beberapa faktor sosial yang mempengaruhinya. Di antaranya adalah faktor ekonomi, sosial, dan bu-daya. Juga dapat dari faktor historis kronologis dan kausalitas, serta perilaku masyarakat terhadap aturan/norma.




 
   



Gambar 4 Model Integrasi IPS Berdasarkan Permasalahan
E.  Strategi Pembelajaran PKn dan IPS
1.  Konsep Belajar dan Pembelajaran
Untuk menjelaskan dan menerapkan strategi pembelajaran terlebih da-hulu kita mengenal sekilas konsep-konsep belajar dan pembelajaran. Menurut Kolb (1984: 38) dalam Malcolm Tight (2000: 24) belajar adalah proses pe-ngetahuan dikreasi melalui transformasi pengalaman. Belajar adalah kebutuh-an dalam kehidupan manusia, sama pentingnya seperti bekerja, dan berteman. Seperti dikemukakan oleh David Kolb (1986) “ belajar adalah cara adaptasi utama manusia, jika kita tidak belajar maka tidak bisa survive (bertahan hi-dup), dan kita tentu saja tidak akan berhasil baik. Belajar itu kompleks dan meliputi berbagai aspek kehidupan dan seharusnya tidak disamakan dengan pendidikan formal. Semua kegiatan manusia memiliki dimensi belajar. Bela-jar dilakukan secara terus menerus, informal, dengan setting yang berbeda, di lingkungan keluarga, mengisi waktu senggang, melalui kegiatan-kegiatan ma-syarakat, dan setiap aktivitas yang bersifat praktis.
Sementara menurut Jarvis (1990:196) dalam Malcolm Tight (2000: 25) bahwa belajar adalah: (1) ada tidaknya perubahan perilaku permanen se-bagai hasil dari pengalaman; (2) perubahan relatif sering terjadi yang meru-pakan hasil dari praktek pembelajaran; (3) proses dimana pengetahuan itu di-gali melalui transformasi pengalaman; (4) proses transformasi pengalaman yang menghasilkan pengetahuan, skill, dan atttitude. dan (5) mengingat infor-masi. Konsep belajar ini relevan dengan pembelajaran Kewarganegaraan yang lebih menekankan pada ranah afeksi dan perilaku. Bagaimana cara guru me-nerapkan konsep belajar ini dalam realisasi pembelaran di kelas.
 
Gambar 5 Siklus pembelajaran yang dikembangkan oleh Kolb
2.  Komponen Strategi Pembelajaran PKn dan IPS
Dick dan Carey (1985) mengatakan bahwa suatu strategi pembelajaran menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut
untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa.
Ia menyebutkan lima komponen umum dan strategi pembelajaran seba-gai berikut: (1) kegiatan pra-pembelajaran, (2) penyajian informasi, (3) parti-sipasi siswa, (4) tes, dan (5) tindak lanjut.
Kelima komponen tersebut bukanlah satu-satunya rumusan strategi pem-belajaran. Tiga komponen yang dibuat merupakan suatu bentuk rumusan stra-tegi pembelajaran. Merril dan Tennyson (1977) menyebutnya sebagai urutan tertentu dari penyajian. Gagne dan Briggs (1979) menyebutnya sebagai 9 urut-an kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) memberikan motivasi atau menarik per-hatian, (2) menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa, (3) mengingatkan kompetensi prasyarat, (4) memberi stimulus (masalah, topik, konsep), (5) memberi petunjuk belajar (cara mempelajari), (6) menumbuhlkan penampilan siswa, (7) memberi umpan balik, (8) menilai penampilan, dan (9) menyim-pulkan.
Briggs dan Wager (1981) mengungkapkan bahwa tidak semua pelajaran memerlukan seluruh 9 urutan kegiatan tersebut. Sebagian pelajaran hanya menggunakan beberapa di antara 9 urutan kegiatan tersebut, tergantung kepa-da karakteristik siswa dan jenis perilaku yang ada dalam tujuan pembelajaran. Pengurangan dari 9 urutan masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasi-onalnya jelas.
Tampaknya para ahli sepakat bahwa strategi pembelajaran berkaitan erat dengan pendekatan pembelajaran dalam mengelola kegiatan pembelajar-an untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistematik, sehingga standar kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Strategi pembelajaran didalamnya terkandung 4 pengertian seba-gai berikut: (a) urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan guru da-lam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa; (b) metode pembelajaran, ya-itu cara guru mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi pro-ses belajar secara efektif dan efisien; (c) media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam kegiatan pem-belajaran; dan (d) waktu yang digunakan oleh guru dan siswa dalam menye-lesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta wak-tu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembe-lajaran (kompetensi dasar) yang telah ditentukan. Strategi pembelajaran dapat pula disebut sebagai cara yang sistematis dalam mengkomunikasikan isi pela-jaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi dasar tertentu. Jadi strategi pembelajaran berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi pe-lajaran atau memberikan pengalaman belajar kepada siswa .
Dalam setiap pemilihan strategi pembelajaran, kita perlu mengajukan 2 (dua) pertanyaan sebagai berikut: (1) apakah strategi yang disusun itu didu-kung dengan teori-teori psikologi dan teori pembelajaran yang ada?, (2) apa-kah strategi yang disusun itu efektif dalam membuat siswa mencapai indika-tor hasil belajar?
Klasifikasikan strategi pembelajaran dapat ditinjau dari: (1) tujuan pem-belajaran meliputi: (a) strategi pembelajaran kognitif, (b) strategi pembelajar-an afektif, dan (c) strategi pembejaran psikomotorik; (2) letak kendali belajar pada siswa atau pada guru; (3) jenis materi yang dipelajari meliputi: (a) stra-tegi pembelajaran fakta, (b) strategi pembelajaran konsep, (c) strategi pembe-lajaran prinsip, dan (d) strategi pembelajaran prosedur; (4) besar kecilnya ke-lompok belajar; (5) cara memperoleh pengetahuan induktif, deduktif, discovery dan inkuiri; (7) interaksi atau komunikasi; dan (8) hubungan atau jarak antara guru dan siswa apakah langsung atau tidak langsung.
Namun jika strategi pembelajaran dimaknai sebagai urutan atau tahapan pembelajaran, maka komponen-komponennya meliputi komponen utama yang pertama, yaitu urutan kegiatan pembelajaran mengandung beberapa kompo-nen, yaitu pendahuluan, penyajian, dan penutup.
Komponen pendahuluan terdiri atas 3 (tiga) langkah sebagai berikut: (1) penjelasannya singkat tentang isi pelajaran, (2) penjelasan relevansi isi pela-jaran baru dengan pengalaman siswa, dan (3) penjelasan tentang kompetensi dasar
 Komponen penyajian juga terdiri atas 3 langkah yaitu: (1) uraian, (2) contoh, dan (3) latihan.
Komponen penutup terdiri atas 2 langkah sebagai berikut: (1) tes forma-tif dan non tes serta umpan balik, dan (2) tindak lanjut. Kegiatan awal terse-but dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa agar secara mental siap mempe-lajari pengetahuan, keterampilan dan sikap baru.
Seorang guru hendaknya bersedia menggunakan waktunya sejenak un-tuk ikut bersama mereka membawa pembicaraan tersebut kepada topik pela-jaran hari itu. Di samping itu, akan berusaha menumbuhkan motivasi siswa untuk mempelajari materi pelajaran baru, sebelum ia mengajarkannya dengan cara menjelaskan apa manfaat materi itu disampaikan.

a.  Subkomponen Pendahuluan
Fungsi sub komponen pendahuluan ini akan tercermin dalam ketiga langkah yang akan dijelaskan dibawah ini:
1)    Penjelaskan singkat tentang isi pelajaran pada babak permulaan pelajaran, siswa ingin segera mengetahui apa yang akan dipelajarinya pada pertemu-an saat itu. Keingintahuan ini akan terpenuhi bila guru menjelaskannya secara singkat. Dengan demikian, pada permulaan kegiatan belajarnya, siswa telah mendapat gambaran secara global tentang isi pelajaran atau kompetensi yang akan dicapai.
2)    Penjelasan relevansi isi pelajaran baru siswa akan lebih cepat mempelaja-ri sesuatu yang baru bila sesuatu yang akan dipelajarinya itu dikaitkan de-ngan sesuatu yang telah diketahuinya atau dengan sesuatu yang biasa di-lakukannnya sehari-hari. Karena itu, pada tahap permulaan kegiatan pem-belajaran diperlukan penjelasan relevansi atau kaitannya antara kegiatan isi pelajaran yang akan dipelajarinya dengan pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang telah dikuasainya atau relevansinya dengan pengalaman-nya.
3)    Penjelasan tentang kompetensi yang akan dicapai siswa, terutama bagi siswa yang telah matang, akan belajar dengan lebih cepat bila ia menda-patkan tanda-tanda yang mengarahkan proses belajarnya. Tanda-tanda tersebut antara lain berupa penjelasan tentang kompetensi.
Dengan selesainya ketiga kegiatan pendahuluan tersebut, siswa telah mempunyai gambaran global tentang isi pelajaran yang akan dipelajarinya, kaitannya dengan pengalamannya sehari-hari, bermotivasi tinggi untuk bela-jar sebaik-baiknya. Waktu yang dibutuhkan untuk ketiga kegiatan dalam kom-ponen pendahuluan tersebut tidak banyak, yaitu: (a) deskripsi singkat adalah penjelasan secara global tentang isi pelajaran; (b) relevansi adalah kaitan isi pelajaran yang sedang dipelajari dengan pengetahuan yang telah dimiliki sis-wa atau dengan pekerjaan yang dilakukannya sehari-hari atau pengalaman-nya; dan (c) kompetensi berisi pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang diharapkan dicapai siswa pada akhir pelajaran.

b.  Subkomponen Penyajian
Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi, perlu di-tentukan setelah identitas mata pelajaran, standar kompetensi, dan kompeten-si dasar ditentukan, langkah berikutnya adalah menentukan materi pembela-jaran (instructional materials). Materi pembelajaran (bahan ajar) merupakan salah satu komponen sistem pembelajaran yang memegang peranan penting dalam membantu siswa mencapai kompetensi dasar dan standar kompetensi. Secara garis besar, materi pembelajaran berisikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap atau nilai yang harus diamalkan .
Materi pembelajaran perlu dipilih dengan tepat agar seoptimal mungkin membantu siswa dalam mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Masalah-masalah yang timbul berkenaan dengan pemilihan materi pembela-jaran menyangkut jenis, cakupan, urutan, dan perlakuan (treatment) terhadap materi pembelajaran tersebut. Jenis materi pembelajaran perlu diidentifikasi dengan tepat karena setiap jenis materi pembelajaran memerlukan strategi, media, dan cara mengevaluasi yang berbeda-beda. Cakupan atau ruang ling-kup serta kedalaman materi pembelajaran perlu diperhatikan agar tidak ku-rang dan tidak lebih. Urutan (sequence) perlu diperhatikan agar pembelajaran menjadi runtut. Perlakuan perlu dipilih setepat-tepatnya agar tidak salah me-ngajarkannya (misalnya perlu kejelasan apakah suatu materi harus dihafalkan, dipahami, atau diaplikasikan).
Penyajian adalah subkomponen yang sering ditafsirkan secara awam se-bagai pembelajaran karena memang merupakan inti kegiatan pembelajaran. Didalamnya terkandung 3 pengertian pokok sebagai berikut: uraian, contoh, latihan.
Pertama, uraian adalah penjelasan tentang materi pelajaran atau konsep,
prinsip, dan prosedur yang akan dipelajari siswa.
Kedua, contoh meliputi benda atau kegiatan yang bersifat positif atau negatif baik yang konsisten maupun yang bertentangan dengan uraian. Uraian dan contoh ini merupakan tanda-tanda dan kondisi belajar yang merangsang siswa untuk memberikan respon terhadap isi pelajaran yang sedang dipelaja-rinya.
Ketiga, kegiatan pengajar dalam menguraikan isi pelajaran dan membe-rikan contoh yang relevan dapat bervbentuk uraian lisan, tulisan atau buku, media audiovisual, poster, benda sebenarnya. Pada saat memberikan uraian pengajar dapat menggunakan berbagai metode seperti ceramah, diskusi, dan sumbang saran.
Latihan adalah kegiatan siswa dalam rangka menerapkan konsep, prin-sip, atau prosedur yang sedang dipelajarinya kedalam praktik yang relevan dengan pekerjaan atau kehidupannya sehari-hari. Latihan ini merupakan bagi-an dari proses siswa bukan tes. Dengan latihan, berarti siswa belajar dengan aktif tidak hanya duduk dan mendengarkan. Belajar secara aktif akan mem-percepat penguasaan siswa terhadap materi yang sedang dipelajarinya.

3.  Subkomponen Penutup
a.  Tes formatif
Adalah satu set pertanyaan untuk dijawab atau seperangkat tugas untuk dilakukan dalam mengukur kemampuan belajar siswa didik setelah menyele-saikan suatu tahap pengalaman belajar. Tes ini dapat diajukan secara tertulis atau lisan. Di samping itu untuk mengukur kemajun siswa didik, tes merupa-kan bagian dari kegiatan belajar yang secara aktif membuat respon. Belajar secara aktif tersebut akan lebih efektif bagi siswa didik untuk menguasai apa yang dipelajarinya. Hasil tes formatif harus diberitahukan kepada siswa. Ke-giatan memberitahukan hasil tes tersebut dinamakan umpan balik. Hal ini penting artinya bagi siswa agar proses belajar menjadi efektif, efisien, dan menyenangkan.
b. Tindak lanjut
Kegiatan yang dilakukan siswa didik setelah melakukan tes formatif dan mendapatkan umpan balik. Siswa didik yang telah mencapai hasil baik dalam tes formatif dapat meneruskan ke bagian pelajaran selanjutnya atau mempela-jari bahan penambahan untuk memperdalam pengetahuan yang telah dipelaja-rinya. Siswa yang mendapatkan hasil kurang dalam tes formatif harus mengu-lang isi pelajaran tersebut dengan menggunakan bahan pembelajaran yang sa-ma atau berbeda.
3. Strategi Pembelajaran PKn dan IPS
a.  Strategi Urutan Penyampaian Suksesif
Jika guru harus manyampaikan materi pembelajaran lebih daripada satu, maka menurut strategi urutan panyampaian suksesif, sebuah materi satu demi satu disajikan secara mendalam baru kemudian secara berurutan menyajikan materi berikutnya secara mendalam pula. Contoh yang sama, misalnya guru akan mengajarkan materi nasionalisme. Pertama-tama guru menyajikan pe-ngertian nasionalisme. Setelah pengertian disajikan, maka makna mendalam, baru kemudian menyajikan contoh-contoh perilaku yang bersifat cerminan nasionalisme.

b.  Strategi Penyampaian Fakta
Jika guru harus manyajikan materi pembelajaran termasuk jenis fakta (nama-nama benda, nama tempat, peristiwa sejarah, nama orang, nama lam-bang atau simbol, dsb.) strategi yang tepat untuk mengajarkan materi tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, sajikan materi fakta dengan lisan, tulisan, atau gambar. Kemudian berikan bantuan kepada siswa untuk menghafal. Ban-tuan diberikan dalam bentuk penyampaian secara bermakna, menggunakan jembatan ingatan, jembatan keledai, dan asosiasi berpasangan. Contoh: de-ngan menggunakan jembatan keledai (mnemonics) yaitu LEMHANNAS dan IPOLEKSOSBUDHANKAMNAS.

c.  Strategi Penyampaian Konsep
Materi pembelajaran jenis konsep adalah materi berupa definisi atau pe-ngertian. Tujuan mempelajari konsep adalah agar siswa paham, dapat menun-jukkan ciri-ciri, unsur, membedakan, membandingkan, menggeneralisasi, dsb.
Langkah-langkah mengajarkan konsep: (1) menyajikan konsep, (2) pem-berian bantuan (berupa inti isi, ciri-ciri pokok, contoh dan bukan contoh), (3)  pemberian latihan (exercise) misalnya berupa tugas untuk mencari contoh lain,
(4) pemberian umpan balik, dan (5) pemberian tes.

Contoh:
Penyajian Konsep Budaya
Langkah 1: Penyajian konsep
Langkah 2: Pemberian bantuan
Pertama siswa dibantu untuk menghafal konsep dengan kalimat sendiri, tidak harus hafal verbal terhadap konsep yang dipelajari (dalam hal ini Pasal tentang keterwakilan politik perempuan).
Langkah 3: Umpan balik
Berikan umpan balik atau informasi apakah siswa benar atau salah da-lam memberikan contoh. Jika benar berikan konfirmasi, jika salah beri-kan koreksi atau pembetulan.
Langkah 4: Tes
Berikan tes untuk menilai apakah siswa benar-benar telah paham terha-dap materi pelestarian budaya daerah. Soal tes hendaknya berbeda de-ngan contoh kasus yang telah diberikan pada saat penyampaian konsep dan soal la-tihan untuk menghindari siswa hanya hafal tetapi tidak pa-ham.

d.    Strategi Penyampaian Materi Pembelajaran Prinsip
Yang termasuk materi pembelajaran jenis prinsip adalah dalil, rumus,  okum (law), postulat, dan teori.
Langkah-langkah mengajarkan atau menyampaikan materi pembelajar-an jenis prinsip adalah: (a) sajikan prinsip oleh siswa hasil penelusuran di per-pustakaan lewat penugasan, (b) berikan bantuan berupa contoh penerapan prinsip dalam kehidupan sehari-hari, (c) berikan soal-soal latihan, (d) berikan umpan balik, dan (e) berikan tes atau penilaian praktek.
Contoh:
Langkah 1: Sajikan teori
Langkah 2: Memberikan bantuan
Langkah 3: Memberikan umpan balik
Beritahukan kepada siswa apakah jawaban mereka betul atau salah. Jika
betul berikan penguatan atau konfirmasi. Misalnya, “Ya jawabanmu
betul”. Jika salah berikan koreksi atau pembetulan.
Langkah 4: Berikan tes
e.    Strategi Penyampaian Prosedur
Tujuan mempelajari prosedur adalah agar siswa dapat melakukan atau mempraktekkan prosedur tersebut, bukan sekedar paham atau hafal. Terma-suk materi pembelajaran jenis prosedur adalah langkah-langkah mengerjakan suatu tugas secara urut. Misalnya langkah-langkah mencoblosan tanda gam-bar dalam Pemilu Presiden Langsung 5 Juli 2004.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur meliputi:
a)    Menyajikan prosedur
b)    Pemberian bantuan dengan jalan mendemonstrasikan bagaimana cara me-laksanakan prosedur
c)    Memberikan latihan (praktik)
d)    Memberikan umpan balik
e)    Memberikan tes.
Contoh:
Prosedur menelpon di telpon umum koin.
Langkah-langkah mengajarkan prosedur:
Langkah 1: Menyajikan prosedur
Sajikan langkah-langkah atau prosedur menelpon dengan menggunakan bagan arus (flow chart)
Langkah 2: Memberikan bantuan
Beri bantuan agar murid hafal, paham, dan dapat menelpon dengan ja-lan mendemonstrasikan cara menelpon.
Langkah 3: Pemberian latihan
Tugasi siswa paraktek berlatih cara menelpon.
Langkah 4: Pemberian umpan balik
Beritahukan apakah yang dilakukan siswa dalam praktek sudah betul atau salah. Beri konfirmasi jika betul, dan koreksi jika salah.
Langkah 5: Pemberian tes
Berikan tes dalam bentuk “do it test”, artinya siswa disuruh praktek, la-
lu diamati.

f.  Strategi Mengajarkan/Menyampaikan Materi Aspek Sikap (Afektif)
Termasuk materi pembelajaran aspek sikap (afektif) adalah pemberian respon, penerimaan suatu nilai, internalisasi, dan penilaian.
Beberapa strategi mengajarkan materi aspek sikap antara lain: pencipta-an kondisi, pemodelan atau contoh, demonstrasi, simulasi, penyampaian ajar-an atau dogma.
Contoh:
Penciptaan kondisi.
Agar memiliki sikap disiplin dalam berlalu lintas, di jalan dibuat rambu-rambu lalu lintas. Pemodelan atau contoh: Disajikan contoh atau model sese-orang baik nyata atau fiktif yang perilakunya diidolakan oleh siswa. Misalnya tokoh agama atau tokoh nasional yang menjadi idola anak.

4.  Pengolahan Bahan Ajar
Bahan ajar adalah bahan atau material atau sumber belajar yang mengan-dung subtansi kemampuan tertentu yang akan dicapai oleh siswa. Secara ga-ris besar bahan ajar atau materi pembelajaran (instructional material) menca-kup pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dipelajari siswa (Dikmenum, 2003) dalam rangka mencapai komptensi yang telah ditetapkan. Subtansi ma-teri dalam pembelajaran IPS terdiri atas fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan nilai (Abdul Gafur, 1989; Dikmenum, 2003). Termasuk dalam materi fakta adalah nama-nama obyek, peristiwa sejarah, nama tempat, nama orang, lam-bang, dan sebagainya. Termasuk dalam materi prinsip adalah dalil, rumus, adagium, postulat, teorema, atau hubungan antara konsep. Prosedur adalah langkah-langkah secara sistematis atau berurutan dalam mengerjakan suatu tugas. Nilai atau sikap tercakup dalam afeksi seperti nilai kejujuran, kasih sa-yang, tolong-menolong, etos kerja, disiplin, dan sebagainya (Dikmenum, 2003). Secara lebih rinci uraian mengenai fakta, konsep, prinsip, prosedur, dan nilai dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.  Fakta
Materi pembelajaran termasuk kategori fakta jika menunjukkan suatu nama, objek, atau peristiwa yang terjadi secara nyata pada suatu daerah atau tempat tertentu. Materi yang bersifat faktual mencakup beberapa hal, seperti:
Nama tokoh politik, contoh: nama Ketua MPR periode 2004-2009
1)    Peristiwa sejarah, contoh: sejarah Perang Diponegoro
2)    Jumlah anggota atau unsur-unsur kelengkapan suatu badan/lembaga/orga-
nisasi. Contoh: jumlah anggota negara ASEAN, unsur-unsur kelengkapan DPR
3)    Letak suatu objek, contoh: letak Indonesia secara geografis.
4)    dan sebagainya.

b.  Konsep
Konsep adalah materi pembelajaran dalam bentuk definisi/batasan atau pengertian dari suatu obyek baik yang bersifat abstrak maupun kongkrit. Ma-teri yang berupa konsep dalam pembelajaran IPS, misalnya, apa itu hukum? Gambarkan klasifikasi hukum? Jelaskan ciri-ciri hukum? dan sebagainya. Da-lam mempelajari materi dalam bentuk konsep membutuhkan pemahaman se-cara utuh atau lengkap, tidak bisa sebagian-sebagian, karena akan mengaki-batkan miskonsep atau salah konsep. Kata-kata operasional yang menunjuk-kan aktivitas siswa mempelajari konsep antara lain: definisikan, klasifikasi-kan, identifikasikan, ciri-ciri dari, dan sebagainya.

c.  Prinsip
Prinsip adalah dasar atau asas yang menunjukkan hubungan antara ber-bagai konsep yang telah teruji kebenarannya sehingga berlaku di mana saja dan kapan saja. Hubungan antara konsep memiliki sifat materi yang disebut generalisasi. Prinsip disebut juga dalil, dogma, aksioma atau rumus karena si-fat kebenarannya yang universal. Contoh prinsip dalam materi IPS adalah asas kewarganegaraan (ius soli dan ius sanguinis), asas-asas hubungan antarbang-sa, perjanjian bilateral, dan sebagainya.

d.  Prosedur
Prosedur adalah tahapan atau langkah-langkah untuk menyelesaikan ke-giatan atau aktivitas tertentu atau secara singkat sering juga disebut tatacara. Materi ini menuntut siswa untuk melakukan langkah-langkah, atau mengerja-kan sesuatu menurut urutan atau tatacara tertentu. Kata-kata yang menunjuk-kan prosedur di antaranya adalah tahap-tahap Pemilu, cara menetapkan ang-
gota DPR, dan prosedur peradilan HAM.

e.  Nilai
Secara harfiah nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang berguna (usefull)
atau berharga. Dalam konteks sosiokultural, nilai diartikan sebagai sesuatu yang diyakini kebenarannya dan berguna bagi kehidupan masyarakat dan ma-nusia pada umumnya. Sehingga secara praksis masyarakat menghargai dan menjunjung tinggi nilai tersebut. Nilai atau disposisi nilai mewujud dalam si-kap dan perbuatan manusia. Contoh nilai yang dikembangkan dalam IPS an-tara lain jujur, tanggung jawab, tolong menolong, kerja keras, disiplin, meng-hargai perbedaan, dan sebagainya.
Bahan ajar dipersiapkan dan dikonstruksi secara sengaja oleh guru un-tuk dipelajari siswa dalam rangka pencapaian standar kompetensi dan kompe-tensi dasar yang telah ditentukan dalam kurikulum.
Dilihat dari sifatnya bahan ajar untuk suatu pembelajaran ada yang ber-sifat self instructional dan memiliki kemampuan menjelaskan sendiri self explanatory power (Atwi Suparman, 2000) dan ada yang tidak. Indikasi jenis bahan ajar yang pertama adalah ketika siswa membacanya maka siswa seolah-olah sedang berkomunikasi dengan guru. Artinya jenis bahan ajar ini mampu membelajarkan siswa, meskipun tanpa ada atau tanpa bantuan guru. Sedang-kan jenis yang kedua hanya bersifat uraian atau paparan materi subtansial. Bentuk bahan ajar yang pertama di antaranya adalah modul atau modifikasi modul (semi modul), sedangkan bentuk yang kedua di antaranya adalah dik-tat, buku teks, kompilasi bahan ajar, hand out, kliping, dan sumber-sumber lain baik yang berupa cetakan atau elektronik.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyusunan materi pem-belajaran adalah prinsip relevansi, konsistensi, dan kecukupan. Prinsip rele-vansi artinya keterkaitan. Materi pembelajaran hendaknya relevan dengan pen-capaian standar kompetensi dan kompetensi dasar. Jika kemampaun yang di-harapkan dikuasai siswa berupa menghafal fakta, maka materi pembelajaran yang diajarkan harus berupa fakta.
Prinsip konsistensi artinya keajegan. Jika kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa empat macam, maka materi yang harus diajarkan juga harus meliputi empat macam.
Prinsip kecukupan artinya materi yang diajarkan hendaknya cukup me-madai dalam membantu siswa menguasai kompetensi dasar yang diajarkan. Materi tidak boleh terlalu sedikit, dan tidak boleh terlalu banyak. Jika terlalu sedikit akan kurang membantu mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar. Sebaliknya, jika terlalu banyak akan membuang-buang waktu dan te-naga yang tidak perlu untuk mempelajarinya.
Kriteria pokok pemilihan materi pembelajaran adalah standar kompeten-
si dan kompetensi dasar. Materi yang dipilih untuk diajarkan oleh guru dan harus dipelajari siswa hendaknya materi yang benar-benar menunjang terca-painya standar kompetensi dan kompetensi dasar: (a) langkah-langkah pemi-lihan; (b) identifikasi standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Sebelum menentukan materi pembelajaran terlebih dahulu perlu diiden-tifikasi aspek-aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus di-pelajari atau dikuasai siswa. Aspek tersebut perlu ditentukan, karena setiap aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar memerlukan jenis materi yang berbeda-beda dalam kegiatan pembelajaran. Perlu ditentukan apakah aspek standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus dipelajari siswa terma-suk: (1) kognitif yang meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, sintesis, analisis, dan penilaian; (2) psikomotorik yang meliputi gerak awal, semi ru-tin, dan rutin; (3) sikap (afektif) yang meliputi pemberian respon, apresiasi, penilaian, dan internalisasi; (d) identifikasi jenis-jenis materi pembelajaran.
Materi pembelajaran aspek kognitif secara terperinci dapat dibagi men-jadi empat jenis, yaitu: fakta, konsep, prinsip dan prosedur (Reigeluth, 1987). Pertama, materi jenis fakta adalah materi berupa nama-nama objek, nama tem-pat, nama orang, lambang, peristiwa sejarah, nama bagian atau komponen su-atu benda, dan lain sebagainya. Kedua, materi konsep berupa pengertian, defi-nisi, hakikat, inti isi. Ketiga, materi jenis prinsip berupa dalil, rumus, postulat adagium, paradigma, dan teori. Keempat, materi jenis prosedur berupa lang-kah-langkah mengerjakan sesuatu secara urut, misalnya langkah-langkah ber-diskusi secara demokratis. Materi pembelajaran aspek afektif meliputi: pem-berian respon, penerimaan (apresisasi), internalisasi, dan penilaian.

Tabel 1 Klasifikasi Materi Pembelajaran IPS Menjadi Fakta, Konsep, Prosedur, dan Prinsip
No.    Jenis Materi    Pengertian dan Contoh
1.    Fakta    Menyebutkan kapan, berapa, nama, dan di mana.
Contoh: Kapan PILPRES Langsung dilaksanakan pertama kali
2.    Konsep    Definisi, identifikasi, klasifikasi, ciri-ciri khusus.
Contoh: Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa manusia.
3.    Prinsip    Penerapan dalil, hukum, atau rumus. (Jika…maka…)
Contoh: Jika Pemimpin adil maka rakyat sejahtera
4.    Prosedur    Bagan arus atau bagan alur (flowchart), langkah-langkah menger-jakan sesuatu secara urut. Contoh langkah-langkah mengibarkan Bendera Merah putih.






















Diagram 1 Pengolahan Bahan Ajar

5.  Metode dan Teknik Pembelajaran IPS
a. Metode Pembelajaran IPS
Dalam kegiatan pembelajaran metode berarti cara yang tepat untuk ber-langsungnya proses pembelajaran agar dapat mencapai tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran adalah salah satu komponen dalam strategi pembelajar-an. Komponen ini terkait dengan bagaimana atau dengan cara yang bagaima-na guru menyempaikan materi kepada siswa. Metode penyajian yang diguna-kan berkaitan erat dengan strategi pembelajaran yang dipilih untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Dasar pertimbangan pemilihan metode adalah: (1) kompetensi yang akan dicapai, (2) isi pembelajaran, (3) waktu dan siswa, (4) fasilitas yang tersedia, (5) kemampuan guru, (6) kemampuan yang akan dicapai pengetahuan, kete-rampilan, sikap dan perilaku.
Fungsi Metode Pembelajaran adalah: (1) menentukan belajar dan pem-belajaran, (2) meningkatkan minat dan perhatian, (3) menciptakan peluang in-teraksi, (4) penciptaan iklim belajar, (5) proses perubahan.
Ada beberapa macam metode yang biasa digunakan dalam proses pem-belajaran, namun untuk kepentingan ini akan dipilih metode yang penting dan diasumsikan belum tersosialisasikan secara efektif, yaitu: (a) simulasi, (b) role playing, (c) inquiri, (d) penemuan (discovery), (e) pemecahan masalah, (f) karyawisata, (g) peta konsep, (h) pe-nugasan (resitasi), (i) diskusi, (j) cera-mah, (k) tanya jawab, dan (l) kooperatif (cooperative learning).

b.  Teknik Pembelajaran IPS
1) Teknik Resolusi Konflik
Teknik Resolusi Konflik (TRK), dalam National Commission of Social Studies (NCSS) di USA dalam Sudiatmaka (2003: 4) mendefinisikan TRK sebagai “the teaching and learning of Civic Education in the context of real societies “ (NCSS, 2000). NCSS mengajukan 10 (sepuluh) ciri dalam konteks pembelajaran yaitu: (1) siswa mengidentifikasikan masalah-masalah sosial-budaya kemasyarakatan di daerahnya masing-masing yang ada kaitannya de-ngan kehidupan masyarakat; (2) pelibatan siswa secara aktif dalam mencari dan memformulasikan informasi yang dapat digunakan untuk memecahkan masalah yang ada di lingkungan sosial masyarakatnya; (3) menggunakan me-dia elektronik dan media masa lokal, regional, dan nasional untuk mempero-leh informasi yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial dan budaya masyarakat; (4) memfokuskan pengaruh informasi tentang sosial-budaya kepada siswa; (5) perluasan batas dan waktu pembelajaran siswa yang melampaui batas-batas kelas dan lingkungan sekolah; (6) berorientasi bahwa materi pelajaran bukan sebatas fakta, konsep, dan generalisasi yang harus di-kuasai oleh siswa melainkan sebuah kompetensi dasar berkehidupan; (7) me-nekankan pada keterampilan proses yang dapat digunakan oleh siswa untuk memecahkan masalah sosial-budaya dalam kehidupan sehari-hari; (8) mem-beri kesempatan yang optimal kepada siswa untuk memerankan dirinya seba-gai warga masyarakat, pemimpin, negara, dan bangsa bilamana telah mampu mengidentifikasi isu-isu sosial dan budaya yang dihadapinya; (9) menekan-kan pada otonomi siswa dalam proses pembelajaran dalam kapasitasnya seba-gai individu (personal ability) maupun kelompok (group abilities); dan (10) menekankan pada kemampuan dan keterampilan identifikasi siswa terhadap konflik sosial-kemasyarakatan dalam kehidupan di masa mendatang (future life) serta mampu merancang dan mengambil tindakan yang akurat.
Prosedur Pembelajaran metode resolusi konflik.




 
    
    





2)  Teknik Pemecahan Masalah
Pembelajaran melalui pemecahan masalah terdiri atas lima langkah (Ha-mid Hasan, 1996), yaitu: (1) identifikasi masalah, (2) pengembangan alterna-tif, (3) pengumpulan data untuk menguji alternatif, (3) pengujian alternatif, dan (4) pengambilan keputusan.
Isu Kontroversial, Muessing (1975: 4) me-ngatakan isu kontroversial de-ngan kalimat “sesuatu yang mudah diterima oleh seseorang atau kelompok, te-tapi juga mudah ditolak oleh orang atau kelompok lain”. Hal-hal yang harus diperhatikan guru dalam memilih metode isu kontroversial: (1) isu kontrover-sial tidak boleh menimbulkan pertentangan suku, agama dan ras; (2) dekat dengan kehidupan siswa masa kini; (3) sesuatu yang sudah menjadi milik ma-syarakat; dan (4) berkenaan dengan masalah setempat, nasional maupun in-ternasional.
3) Teknik Studi Kasus
 Pembelajaran dengan studi kasus menghendaki partisipasi aktif siswa dalam proses berpikir menghadapi kasus.
Dalam pembelajaran dengan kasus langkah-langkah berikut ini dapat dilakukan (Hamid Hasan: 1996): (1) menentukan pokok/sub pokok bahasan, (2) mengembangkan bahan pelajaran, (3) mengembangkan kasus, (4) meren-canakan proses, dan (5) melaksanakan penilaian
Dalam pembelajaran IPS semua metode tersebut bisa digunakan baik secara sendiri-sendiri maupun gabungan atau variasi dari dua atau tiga meto-de tersebut. Selain harus menguasai metode pembelajaran, dalam pembelajar-an PKN dan IPS, guru juga perlu menguasasi teknik atau keterampilan yang kerap digunakan dalam pembelajaran. Beberapa teknik atau keterampilan ter-sebut, seperti yang dikatakan Hasibuan (2004), adalah: (1) keterampilan mem-buka dan menutup pelajaran, (2) keterampilan bertanya, (3) keterampilan memberi penguatan, (4) keterampilan menjelaskan, (5) keterampilan menggu-nakan variasi, (6) keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan, (7) keterampilan mengelola kelas, dan (8) keterampilan membimbing diskusi.

6.  Pendekatan Pembelajaran
Metode pembelajaran terkait erat dengan pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk itu dalam uraiannya sulit dipisahkan.
Pendekatan Pembelajaran dalam mata pelajaran Kewarganegaraan me-rupakan proses dan upaya dengan menggunakan pendekatan belajar konteks-tual untuk mengembangkan dan meningkatkan kecerdasan, keterampilan, dan karakter warga negara Indonesia. Pendekatan belajar kontekstual dapat diwu-judkan antara lain dengan metode-metode: (1) kooperatif, (2) penemuan, (3) inkuiri, (4) interaktif, (5) eksploratif, (6) berpikir kritis, dan (7) pemecahan masalah.
Metode-metode pembelajaran tersebut dapat dilaksanakan secara berva-riasi di dalam atau di luar kelas dengan memperhatikan ketersediaan sumber-sumber belajar. Guru dengan persetujuan kepala sekolah selain dapat memba-wa siswa menemui tokoh masyarakat dan pejabat setempat, juga dapat mengun-dang tokoh masyarakat dan pejasbat setempat ke sekolah untuk memberikan informasi yang relevan dengan materi yang dibahas dalam kegiatan pembela-
jaran.

a.  Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme merupakan landasan berpikir (filosofi) pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Contoh: Dalam kelas siswa dilatih melalui pembiasaan diri untuk menghargai pendapat orang lain.
Siswa perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah, menemukan sesu-atu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide. Contoh: Kasus perbedaan pandangan tentang proses penyelesaian kasus perkelahian di kelas, sehingga siswa sampai pada kesimpulan bahwa perkelahian itu terjadi karena persoalan harga diri dilecehkan.
Contoh siswa diberi tugas untuk mengamati toleransi antar umat bera-gama dalam pelaksanaan ibadah puasa di bulan Romadhon.
Untuk itu, tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan: (1) menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa, (2) memberi ke-sempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri,dan (3) menya-darkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.
 
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian inti dari kegiatan pembelajaran berbasis CTL. Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemu-kan, apapun materi yang diajarkannya. Siklus inkuiri: (1) observasi, (2) berta-nya, (3) mengajukan dugaan, (4) pengumpulan data, dan (5) penyimpulan.
Langkah-langkah kegiatan menemukan: (1) merumuskan masalah; (2) mengamati atau melakukan observasi; (3) menganalisis dan manyajikan hasil dalam tulisan, gambar,laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya; (4) mengko-munikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sejawat, gu-ru, atau audien yang lain.
Contoh: Model pembelajaran portofolio, siswa dilatih untuk melakukan penelitian di lapangan.
c.  Bertanya (Questioning)
Contoh: (1) setiap kali pertemuan guru diharapkan membuat pertanyaan apakah pelajaran yang lalu mampu diserap atau tidak; (2) membuat beberapa kuis yang relevan dengan materi, misalnya kuis pengamalan budaya demokra-
si; dan (3) guru memberi kesempatan kepad siswa untuk bertanya.

d.  Masyarakat Belajar ( Learning Community)
“Masyarakat belajar” bisa terjadi apabila ada proses komunikasi dua arah. “seorang guru yang mengajari siswanya” adalah bukan contoh masyara-kat belajar karena komunikasi hanya terjadi satu arah, yaitu informasi hanya datang dari guru ke arah siswa, tidak ada arus informasi yang perlu dipelajari guru yang datang dari arah siswa. Dalam contoh ini yang belajar hanya siswa bukan guru. Dalam masyarakat belajar, dua kelompok atau lebih yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran saling belajar. Contoh: Diskusi kelompok membahas topik demokrasi. Dalam kelompok perlu diamati apakah terbentuk masyarakat belajar atau tidak, jika tidak maka guru melakukan perbaikan.

e.  Pemodelan (Modeling)
Sebagian guru memberi contoh tentang cara bekerja sesuatu, sebelum siswa melaksanakan tugas. Misalnya, cara merumuskan masalah dalam mo-del pembelajaran Portofolio.
Secara sederhana, kegiatan itu disebut pemodelan. Artinya, ada model yang bisa ditiru dan diamati siswa, sebelum mereka berlatih merumuskan ma-salah. Dalam kasus itu, guru menjadi model.

f.  Refleksi (Reflection)
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengeta-huan yang baru diterima. Misalnya, ketika pelajaran berakhir, siswa merenung “kalau begitu, cara saya melaporkan tugas lapangan tentang pengamalan de-mokrasi dalam kehidupan sehari-hari adalah salah, ya! Mestinya, dengan cara yang baru saya pelajari ini, yang betul”.

g.  Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Assessment adalah proses pengumpulan data yang bisa memberikan gam-baran perkembangan belajar siswa. Gambaran perkembangan belajar siswa perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan kemajuan. Kemajuan belajar itu diperlukan di sepanjang proses pembelajaran, maka assessment tidak dila-kukan di akhir periode pembelajaran, melainkan dilakukan secara terintegrasi tidak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
Karakteristik authentik assessment: (1) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung; (2) bisa digunakan formatif maupun suma-tif; (3) yang diukur keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta; (4) berkesinambungan; (5) terintegrasi; dan (6) dapat digunakan sebagai feed back .
Hal-hal yang bisa digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa ada-lah: (a) proyek/kegiatan dan laporan tentang masalah Narkoba, (b) kuis sekitar Pelanggaran HAM di Indonesia, (c) karyawisata ke Mesium Nasional, (d) presentasi atau penilaian Peer Grou, misalnya tampilan kasus yang dipilih Kasus PILKADA di Depok.

7.  Media/Sumber Belajar
Media pembelajaran, berupa media cetak dan atau media audiovisual yang digunakan pada setiap langkah pada urutan kegiatan pembelajaran. Se-perti halnya penggunaan metode pembelajaran mungkin beberapa media di-gunakan pada suatu langkah atau satu media digunakan pada beberapa lang-kah.
Media adalah alat yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau infor-masi dari pengirim kepada penerima pesan. Media dapat berupa: alat elektro-nika, gambar, buku dan sebagainya. Media digunakan dalam kegiatan pembe-lajaran karena berbagai kemampuannya, sebagai berikut: (1) memperbesar gambar; (2) menyajikan gambar atau peristiwa yang tak terjangkau; (3) me-nyajikan peristiwa yang kompleks, rumit, dan berlangsung sangat cepat; (4) meningkatkan daya tarik dengan menggambarkan keindahan; dan (5) mening-katkan sistematika pembelajaran menjadi satu kesatuan yang utuh: seperti penggunaan transparansi, kaset audio, dan grafik
Berbagai sumber dapat kita gunakan untuk mendapatkan materi pembe-
lajaran dari setiap standar kompetensi dan kompetensi dasar, seperti: (1) buku teks; (2) laporan hasil penelitian; (3) jurnal (penerbitan hasil penelitian dan pemikiran ilmiah); (4) majalah ilmiah; (5) pakar bidang studi; (6) profesional; (7) buku kurikulum; (8) penerbitan berkala seperti harian, mingguan, dan bu-lanan; (9) internet; (10) media audiovisual (TV, Video, VCD, kaset audio); dan (11) lingkungan (alam, sosial, seni budaya, teknik, industri, ekonomi).
Perlu diingat, dalam menyusun rencana pembelajaran berbasis kompe-tensi, buku-buku atau terbitan tersebut hanya merupakan bahan rujukan. Ar-tinya, tidaklah tepat jika hanya menggantungkan pada buku teks sebagai satu-satunya sumber materi. Mengajar bukanlah menyelesaikan satu buku, tetapi membantu siswa mencapai kompetensi. Karena itu, hendaknya guru menggu-nakan banyak sumber materi. Bagi guru, sumber utama untuk mendapatkan materi pembelajaran adalah buku teks dan buku penunjang yang lain.

8. Penilaian Berbasis Kelas (PBK)
Penilaian dalam mata pelajaran PKn dan IPS dilakukan untuk mengukur pencapaian indikator hasil belajar PKn dan IPS. Penilaian dapat mengguna-kan model penilaian berdasarkan perbuatan (performance-based assessment) atau juga dikenal dengan penilaian otentik (authentic assessment).
Penilaian perbuatan atau otentik dapat menggunakan campuran bebera-pa teknik berikut ini: (1) catatan kegiatan, (2) catatan anekdot, (3) skala sikap, (4) catatan tindakan, (5) koleksi pekerjaan, (6) tugas individu, (7) tugas ke-lompok atau kelas, (8) diskusi, (9) wawancara, (10) catatan pengamatan, (11) peta perilaku, (12) portofolio, (13) kuesioner, (14) pengukuran sosiometrik, (15) tes buatan guru, (16) tes standar prestasi, dan (17) tes standar psikologis.
Ada beberapa kriteria atau hal-hal yang perlu diperhatikan dalam peni-laian adalah:
(1)    Penilaian dapat dilakukan melalui tes dan nontes.
(2)    Penilaian harus mencakup tiga aspek kemampuan, yaitu pengetahuan, si-kap, dan keterampilan.
(3)    Menggunakan berbagai cara penilaian ketika kegiatan belajar sedang ber-langsung, misalnya melalui observasi, mendengarkan, mengajukan perta-nyaan, mengamati hasil kerja siswa, dan memberikan tes.
(4)    Pemilihan alat dan jenis penilaian berdasarkan rumusan indikator hasil belajar.
(5)    Mengacu pada tujuan dan fungsi penilaian: sebagai umpan balik, laporan kepada orangtua, memberikan informasi tentang kemauan belajar siswa.
(6)    Alat penilaian harus mendorong kemampuan penalaran dan kreativitas siswa, misalnya dalam bentuk tes tertulis uraian, tes kinerja, hasil karya siswa (produk), proyek, dan portofolio.
(7)    Mengacu pada prinsip differensiasi atau keberagaman kemampuan siswa.
(8)    Tidak bersifat diskriminasi, melainkan adil bagi semua siswa.
Berdasarkan kriteria tersebut di atas, maka penilaian yang dikembang-kan menurut Kurikulum Berbasis Kompetensi adalah Penilaian Kelas atau sering disebut Penilaian Berbasis Kelas (PBK).

a.  Pengertian Penilaian Berbasis Kelas (PBK)
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) merupakan salah satu komponen dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Penilaian Berbasis Kelas merupakan prinsip, sasaran, dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang akurat dan konsisten tentang kompetensi atau hasil belajar siswa serta pernyataan yang jelas mengenai kemajuan siswa sebagai akuntabilitas publik. Dinamakan Pe-nilaian Berbasis Kelas, karena penilaian ini dilakukan secara terpadu dengan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Penilaian Berbasis Kelas (PBK) dilakukan dengan pengumpulan kerja siswa (portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), performance (kinerja), dan tes tertulis. Adapun guru menilai kompetensi dan hasil belajar siswa berdasarkan level pencapaian prestasi siswa.

b. Manfaat Hasil Penilaian Berbasis Kelas
a)    Memberikan umpan balik bagi siswa dalam mengetahui kemampuan dan kekurangannya, sehinga menimbulkan motivasi untuk memperbaiki hasil
belajarnya.
1)    Memantau dan mendiagnosis kemampuan belajar siswa, sehingga memung-kinkan dilakukannya pengayaan dan remediasi untuk memenuhi kebutuh-an siswa sesuai dengan kemajuan dan kemampuannya.
2)    Memberikan masukan kepada guru untuk memperbaiki program pembe-lajarannya di kelas.
3)     Memungkinkan siswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan walau pun dengan kecepatan belajar yang berbeda-beda.
4)    Memberikan informasi yang lebih komunikatif kepada masyarakat tentang
efektivitas pendidikan, sehingga dapat meningkatkan partisipasi masyara-kat dalam pendidikan.

c.  Pelaksanaan Penilaian Berbasis Kelas
 Ada beberapa hal yang harus dipahami oleh guru dalam melaksanakan penilaian, yaitu:
a)    Memandang penilaian sebagai bagian yang integral dari kegiatan belajar-mengajar.
b)    Mengembangkan strategi yang mendorong dan memperkuat proses peni-laian sebagai kegiatan refleksi (bercermin dairi dan pengalaman belajar).
c)    Melakukan berbagai strategi penilaian di dalam program pengajaran untuk menyediakan berbagai jenis informasi tentang hasil belajar siswa.
d)    Mengakomodasi kebutuhan siswa.
e)    Mengembangkan sistem pencatatan yang menyediakan cara bervariasi dalam pengamatan belajar.
f)    Menggunakan penilaian dalam rangka mengumpulkan informasi untuk membuat keputusan tentang tingkat pencapaian kompetensi siswa.
Dalam menjaring hasil kerja siswa, pelaksanaan PBK dapat berbentuk tes tertulis, penampilan (performance), peugasan atau proyek, dan portofolio.
Tes tertulis dapat berbentuk memilih jawaban (jawaban ganda) dan mem-buat jawaban sendiri (tes uraian). Melalui tes uraian, dapat memberikan infor-masi tentang kemampuan siswa dalam mengorganisasikan gagasannya secara sistematis.
Tes penampilan (performance) merupakan tes yang menuntut siswa me-lakukan tugas dalam bentuk perbuatan yang dapat diamati oleh guru, misalnya tes percobaan, praktek olah raga, menyanyikan lagu, dan sebagainya.
Penugasan atau proyek merupakan tugas yang harus dikerjakan oleh siswa yang memerlukan waktu relatif lama dalam pengerjaannya. Penugasan ini dimaksudkan untuk menggali informasi tentang kemampuan siswa dalam mengorganisasikan seluruh pengetahuannya yang diperoleh dalam bentuk la-
poran karya tulis.
Portofolio, dapat diartikan sebagai suatu wujud benda fisik dan suatu proses sosial pedagogis. Dalam wujud benda fisik, portofolio merupakan bun-del kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan siswa yang disimpan dalam suatu bundel. Portofolio sebagai proses sosial pedagogis merupakan kumpul-an pengalaman belajar yang terdapat dalam pikiran siswa berupa pengetahu-an, keterampilan, nilai, dan sikap. Portofolio sangat bermanfaat untuk mela-yani siswa secara individual maupun kelompok. Penyekoran untuk portofolio menggunakan catatan kemajuan prestasi siswa yang dilakukan oleh guru.

F.  Model Pelaksanaan Pembelajaran PKn dan IPS
1.    Kegiatan Pendahuluan (Awal)
Kegiatan pendahuluan (introduction) pada dasarnya merupakan kegiat-an awal yang harus ditempuh guru dan peserta didik pada setiap kali pelaksa-naan pembelajaran. Fungsinya terutama untuk menciptakan suasana awal pem-belajaran yang efektif yang memungkinkan peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Efisiensi waktu dalam kegiatan pendahulu-an pembelajaran ini perlu diperhatikan, karena waktu yang tersedia untuk ke-giatan tersebut relatif singkat, berkisar antara 5-10 menit. Dengan waktu yang relatif singkat tersebut diharapkan guru dapat menciptakan kondisi awal pem-belajaran dengan baik, sehingga dalam kegiatan inti pembelajaran peserta di-dik sudah siap untuk mengikuti pelajaran dengan seksama.
Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam pendahuluan pembelajaran ini di antaranya untuk menciptakan kondisi-kondisi awal pembelajaran yang kon-dusif, melaksanakan kegiatan apersepsi (apperception), dan penilaian awal (pre-test). Penciptaan kondisi awal pembelajaran dilakukan dengan cara: me-ngecek atau memeriksa kehadiran peserta didik (presence, attendance), me-numbuhkan kesiapan belajar peserta didik (readiness), menciptakan suasana belajar yang demokratis, membangkitkan motivasi belajar peserta didik, dan membangkitkan perhatian peserta didik. Melaksanakan apersepsi (apperception) dilakukan dengan cara: mengajukan pertanyaan tentang bahan pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya dan memberikan komentar terhadap jawaban pe-serta didik, dilanjutkan dengan mengulas materi pelajaran yang akan dibahas. Melaksanakan penilaian awal dapat dilakukan dengan cara lisan atau tulisan berupa kuis singkat pada beberapa peserta didik yang dianggap mewakili se-luruh peserta didik, bisa juga penilaian awal ini dalam prosesnya diintegrasi-kan melalui apersepsi.

2.    Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembela-jaran yang menekankan pada proses pembentukan pengalaman belajar peserta didik (learning experiences). Pengalaman belajar tersebut bisa dalam bentuk kegiatan tatap muka di kelas atau di luar kelas dan kegiatan nontatap muka. Pengalaman belajar tatap muka dimaksudkan sebagai kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan mengembangkan bentuk-bentuk interaksi langsung antara guru dengan peserta didik, sedangkan pengalaman belajar nontatap muka dimaksudkan sebagai kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik da-lam berinteraksi dengan sumber belajar lain yang bukan kegiatan interaksi langsung guru-peserta didik.
Kegiatan inti dalam pembelajaran bersifat situasional, dalam arti perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat proses pembelajaran itu ber-langsung. Terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan inti pembelajaran. Kegiatan paling awal yang perlu dilakukan guru adalah memberitahukan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik be-serta garis-garis besar materi/bahan pembelajaran yang akan dipelajari. Hal ini perlu dilakukan agar peserta didik mengetahui sejak awal kemampuan-ke-mampuan apa saja yang akan diperolehnya setelah proses pembelajaran ber-akhir. Cara yang cukup praktis untuk memberitahukann kompetensi tersebut kepada peserta didik bisa dilakukan dengan cara tertulis atau lisan, atau ke-dua-duanya. Guru menuliskan kompetensi tersebut di papan tulis dilanjutkan dengan penjelasan secara lisan mengenai pentingnya kompetensi tersebut di-kuasai peserta didik.
Kegiatan lainnya di awal kegiatan inti pembelajaran terpadu yaitu men-jelaskan alternatif kegiatan belajar yang akan dialami peserta didik. Dalam tahapan ini guru perlu menyampaikan kepada peserta didik tentang kegiatan-kegiatan belajar yang harus ditempuh peserta didik dalam mempelajari tema/ topik, atau materi pembelajaran PKn atau IPS terpadu. Kegiatan belajar yang ditempuh peserta didik dalam pembelajaran IPS terpadu lebih diutamakan pa-da terjadinya proses belajar yang berkadar aktivitas tinggi. Pembelajaran ber-orientasi pada aktivitas peserta didik, sedangkan guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan-kemudahan kepada peserta didik untuk belajar. Peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang dipelajarinya, sehingga prinsip-prinsip belajar dalam teori konstruktivisme dan teori Kolb dapat diterapkan.
Dalam menyajikan materi/bahan pembelajaran harus diarahkan pada su-atu proses perubahan pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku peserta didik. Mengingat PKn dan IPS syarat dengan nilai maka strategi yang tepat diguna-kan adalah membangkitkan rasa, karsa dan karya yang dapat membentuk ke-pribadian, karakter dan jati diri sebagai manusia. Penyajian bahan pembela-jaran harus dilakukan secara terpadu melalui penghubungan konsep dari mata pelajaran satu dengan konsep mata pelajaran lainnya. Dalam hal ini, guru ha-rus berupaya menyajikan bahan pelajaran dengan strategi mengajar yang ber-variasi, yang mendorong peserta didik pada upaya penemuan pengetahuan baru. Kegiatan pembelajaran bisa dilakukan melalui kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok, dan perorangan.

3.    Kegiatan Akhir dan Tindak Lanjut
Kegiatan akhir dalam pembelajaran terpadu tidak hanya diartikan seba-gai kegiatan untuk menutup pelajaran, tetapi juga sebagai kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik dan kegiatan tindak lanjut. Kegiatan tindak lanjut harus ditempuh berdasarkan pada proses dan hasil belajar peserta didik. Wak-tu yang tersedia untuk kegiatan ini relatif singkat, oleh karena itu guru perlu mengatur dan memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Secara umum kegiat-an akhir dan tindak lanjut dalam pembelajaran terpadu di antaranya:
a.    Melaksanakan dan mengkaji penilaian akhir.
b.    Melaksanakan tindak lanjut pembelajaran melalui kegiatan pemberian tu-gas atau latihan yang harus dikerjakan di rumah, menjelaskan kembali ba-han pelajaran yang dianggap sulit oleh peserta didik, membaca materi pe-lajaran tertentu, dan memberikan motivasi atau bimbingan belajar.
c.    Mengemukakan topik yang akan dibahas pada waktu yang akan datang, dan menutup kegiatan pembelajaran.
 
4.    Penilaian
Objek dalam penilaian pembelajaran terpadu mencakup penilaian terha-dap proses dan hasil belajar peserta didik. Penilaian proses belajar adalah upa-ya pemberian nilai terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik, sedangkan penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai dengan menggunakan kriteria tertentu. Hasil belajar tersebut pada hakikatnya merupakan pencapaian kom-petensi-kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kom-petensi tersebut dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikator-nya yang dapat diukur dan diamati. Penilaian proses dan hasil belajar itu sa-ling berkaitan satu dengan lainnya, hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar.
Penilaian yang dikembangkan mencakup teknik, bentuk dan instrumen yang digunakan terdapat pada lampiran.

a. Teknik Penilaian
Teknik penilaian merupakan cara yang digunakan dalam melaksanakan penilaian tersebut. Teknik-teknik yang dapat diterapkan untuk jenis tagihan tes meliputi: (1) kuis dan (2) tes harian.
Untuk jenis tagihan nontes, teknik-teknik penilaian yang dapat diterap-kan adalah: (1) observasi, (2) angket, (3) wawancara,(4) tugas, (5) proyek, dan (6) portofolio.

b. Bentuk Instrumen
Bentuk instrumen merupakan alat yang digunakan dalam melakukan penilaian/pengukuran/evaluasi terhadap pencapaian kompetensi peserta didik. Bentuk-bentuk instrumen yang dikelompokkan menurut jenis tagihan dan tek-nik penilaian adalah:
-     Tes: isian, benar-salah, menjodohkan, pilihan ganda, uraian, dan unjuk kerja
-     Nontes: panduan observasi, kuesioner, panduan wawancara, dan rubrik.

c. Instrumen
Instrumen merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengukur ting-kat ketercapaian kompetensi. Apabila penilaian menggunakan teknik tes ter-tulis uraian, tes unjuk kerja dan tugas rumah yang berupa proyek, harus diser-tai rubrik penilaian.
G. Faktor Penting dalam Implementasi Strategi Pembelajaran PKn dan IPS
1.    Taksonomi Kecerdasan
Perkembangan taksonomi kecerdasan dapat digambarkan bahwa kecer-dasan atau inteligensi bukanlah bersifat kebendaan, melainkan suatu kondisi mental psikologis yang menggambarkan kemampuan intelektual individu. Ada berbagai pengertian mengenai inteligensi, di antaranya C.P. Chaplin (1975) yang mengartikan inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesu-aikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Pengertian lain dike-mukakan oleh Woolfolk (1995), bahwa inteligensi memiliki 3 pengertian, ya-itu: (1) kemampuan untuk belajar, (2) keseluruhan pengetahuan yang dipero-leh, dan (3) kemampuan untuk melakukan adaptasi secara berhasil dengan si-tuasi baru atau lingkungan pada umumnya. Selanjutnya Binet dalam Surya-brata, 1984, menyatakan bahwa hakikat inteligensi ada 3 macam, yaitu: (1) kecerdasan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan, (2) kemampuan untuk melakukan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan, dan (3) kemam-puan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh 3 ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa inteligensi atau kecerdasan adalah kemampuan individu yang berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan dalam menentukan tujuan, mencapai dan memperbaikinya, serta beradaptasi dengan situasi baru dan lingkungannya.
Karena inteligensi berkait dengan pengetahuan, maka kecerdasan indi-vidu sangat bergantung pada informasi atau pengetahuan yang diperolehnya. Disinilah pentingnya pendidikan dalam meningkatkan inteligensi individu. Dalam kaitan ini, maka para guru harus memahami benar hakikat inteligensi, terutama yang berkait dengan struktur inteligensi manusia. Sehingga guru se-bagai pendidik mampu mengembangkan inteligensi para peserta didik secara optimal.
Untuk itu, kita perlu memahami teori inteligensi yang berkembang. Pa-da awalnya teori inteligensi dikemukakan oleh Spearman pada tahun 1904 (Semiawan, 1997; Yusuf, 2004) yang memandang inteligensi sebagai kemam-puan yang terdiri atas dua faktor, yaitu: (1) kemampuan umum (general faktors), dan (2) kemampuan khusus (specific faktors). Kemudian berkembang teori baru yang dikemukakan oleh Thurstone pada tahun 1938 (Semiawan, 1997; Yusuf, 2004) dengan teorinya Multiple Faktors. Thurstone menyatakan bah-wa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer yang terdiri atas: (1) kemampuan berbahasa: verbal comprehension, (2) kemampuan me-ngingat: memory, (3) kemampuan nalar atau berpikir logis: reasoning, (4) ke-mampuan ruang: spatial, (5) kemampuan menggunakan kata-kata: word fluency, dan (6) kemampuan menanggapi dengan cepat: perceptual speed.
Perluasan teori multiple faktors secara komprehensif dilakukan oleh JP Guilford (Semiawan, 1997) pada 1982 dengan teorinya “struktur intelek”. Guilford menyatakan bahwa struktur kemampuan intelek dapat dilihat dari tiga parameter atau yang disebut faces of intellect, yaitu: (1) operasi mental: proses berpikir, (2) konten: isi yang dipikirkan, dan (3) produk: hasil berpikir. Dari ketiga parameter yang masing-masing terdiri atas beberapa unsur diper-oleh struktur kemampuan intelek manusia yang berjumlah 120 kemampuan dan kemudian bertambah menjadi 150 kemampuan, setelah memisahkan kon-ten figural dari dimensi auditoris.
Dalam perkembangannya, kini muncul teori mutakhir tentang inteligen-si yang disebut Multiple Intelligence. Teori ini dikemukakan oleh Howard Gardner (Semiawan, 1999; Yusuf, 2004) yang menyatakan bahwa inteligensi manusia memiliki dimensi yang banyak. Pada awalnya ada tujuh dimensi, ke-mudian bertambah menjadi delapan dan kini bertambah lagi menjadi 10. Tu-juh dimensi yang dimaksud pada awalnya adalah: (1) logical-mathematical, (2) linguistic, (3) musical, (4) spatial, (5) bodily kinesthetic, (6) interpersonal, dan (7) intrapersonal. Tambahannya adalah (8) natural, dan kemudian ber-tambah dua lagi, yaitu: (9) spiritual, (10) eksistensial. Untuk memperjelas ke-mampuan apa saja yang tercakup dalam teori inteligensi ganda yang dikemu-kakan Gardner di bawah ini disajikan tabel penjelasannya.







Dimensi Inteligensi    Kemampuan Utama
Logical-Mathematical    Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan numerik (bilangan) serta kemampuan untuk berpikir rasi-onal/logis
Linguistic    Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keraga-man fungsi-fungsi bahasa
Musical    Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan rit-me, nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik
Spatial    Kemampuan mempersepsi dunia visual-ruang secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut
Bodily Kinesthetic    Kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani objek-objek secara terampil
Interpersonal    Kemampuan untuk mengamati dan merespon suasana hati, temperamen dan motivasi orang lain
Intrapersonal    Kemampuan menganalisis dan refleksi diri, untuk memahami perasaan, kekuatan, dan kelemahan sendiri.
Natural    Kemampuan mengenal kembali flora dan fauna, dan mencin-tai alam
Spiritual    Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Tuhan.
Eksistensial    Kemampuan untuk menyadari dan menghayati keberadaan dirinya di dunia dan tujuan hidupnya.

2.    Multiple Intelegences
Dalam membentuk karakter dan rara kebangsaan kepada anak didik da-lam hal ini adalah siswa TK, SD, SMP dan SMA serta SMK adalah menjadi tugas pendidik dan sebagai hasil dari proses panjang dan terus menerus dari pembelajaran PKn dan IPS yang meliputi : mental dan moral yang meliputi: budi pekerti, disiplin, dan demokratis dan aspek intelektual yang meliputi: ke-terampilan berpikir logis, luwes, orisinil, elaborasi, dan memperluas wawas-an, profesionalisme, serta kreativitas. Hal ini baru bisa diraih tatkala guru da-lam menerapkan pembelajaran di kelas menggunakan strategi pembelajaran yang dapat mendukung dan memotivasi terbentuknya Multiple Intelegensi siswa.
Howard Gardner adalah seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan di Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Ia menulis gagasannya tentang Multiple Inteligences dalam bukunya Framers of Mind (1983) dan pada tahun 1993 mempublikasikan bukunya ber-judul Multiple Inteligences. Menurut nya bahwa Inteligence sebagai kemam-puan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Intelegensi se-seorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata. Intelegensi seseorang dapat dikembangkankan melalui pendidik-an dan intelegensi jumlahnya banyak.
Multiple Intelegences meliputi: (1) kecerdasan bahasa adalah kapasitas menggunakan bahasa secara lisan dan tulisan secara efektif. Kemampuan me-ngolah kata-kata secara efektif yakni berbahasa lancar, baik dan lengkap. Con-toh: Siswa dilatih menggunakan tata bahasa dan kosa kata yang tepat dalam berdiskusi membahas topik terkait dengan kompetensi dasar misalnya perlin-dungan hukum bagi kaum perempuan; (2) kecerdasan logika matematika ada-lah kemampuan menggunakan bilangan dan logika secara efektif orang yang kemampuan nya tinggi akan sangat mudah membuat klasifikasi dan kategori-sasi dalampemikiran dan cara mereka bekerja. Dalam menghadapi persoalan dia tidak mudah bingung karena ia bisa memilah-milahkannya, mana yang pokok dan mana yang tidak, dan kuat dalam berpikir abstrak dan berfilsafat; (3) kecerdasan keruangan adalah kemampuan mengenali, mengetahui, dan mentranformasikan ide keruangan dan visual ke dalam persepsi secara tepat. Kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan pe-rubahan suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan itu dalam bentuk nyata; serta mengungkapkan data dalam bentuk grafik. Dia juga peka terhadap keseimbangan, relasi, warna, garis, bentuk, dan ruang; (4) kecerdas-an kinestetik (Bodily Kinestetic Intelligence) adalah kemampuan untuk meng-gunakan seluruh tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan ide-ide atau gagasan dan perasaan-perasaan dalam memproduksi karya termasuk koordi-nasi keseimbangan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, ketangkasan serta ke-mampuan menerima rangsang; (5) kecerdasan musik (Musical Intelligence) adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikma-ti bentuk-bentuk musik dan suara. Di dalamnya kepekaan akan ritme, melodi, dan intonasi. Di samping itu juga meliputi kemampuan memainkn alat musik, kemampuan menyanyi, mencipta lagu dan menikmatinya. Juga mencakup ke-mampuan merasakan, membedakan, membentuk dan mengekspresikan musik dan nyanyian. Contoh: siswa ditugasi untuk mengekspresikan perasaannya melalui lagu dan puisi yang terkait dengan masalah sosial, kenegaraan dan kehidupan sehari-hari; (6) kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tu-buh orang lain (isyarat), dan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan kamunikasi dengan berbagai orang. Contoh siswa dilatih berorasi ilmiah atau berdiplomasi dalam berkomunikasi; (7) kecerdasan intra personal adalah ke-mampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan ten-tang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri ting-gi, inisiatif, dan berani. Contoh toleransi antar umat beragama; (8) intelegensi lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fau-na dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natu-ral, serta kemampuan untuk memahami dan menikmati alam. Contoh siswa diajak berkarya wisata menikmati keadaan dan keindahan alam yang dekat lokasinya dengan tempat tinggal mereka, selanjutnya ditugasi pada siswa un-tuk menceritakan pengalamannya; dan (9) inteligensi eksistensial adalah me-nyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas ha-nya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara la-in, mengapa aku ada, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita sampai ke tu-juan hidup. Contoh: Guru dapat menceritakan betapa pentingnya tujuan hidup pribadi yang mengacu pada tujuan hidup beragama, bermasyarakat, dan ber-negara.
Berdasarkan uraian di atas maka tantangan bagi guru dalam pembelajar-an adalah bagaimana menyajikan materi pembelajaran dalam mencapai kom-petensi yang komprehenship dengan tercapainya multiple intelegensi. Semen-tara tantangan bagi pengawas bagaimana melakukan bimbingan dan supervisi akademik pada guru-guru PKn dan IPS agar mengorientasikan pembelajaran-nya pada pencapaian kompetensi menyeluruh baik dalam proses pembelajar-annya maupun hasil akhir.

H.  Implikasi Pembelajaran IPS
1.    Guru
 Pembelajaran IPS Terpadu merupakan gabungan antara berbagai disi-plin ilmu-ilmu sosial, yang biasanya terdiri atas beberapa mata pelajaran se-perti Geografi, Sosiologi/Antropologi, Ekonomi, dan Sejarah, maka dalam pelaksanaannya tidak lagi terpisah-pisah melainkan menjadi satu kesatuan. Hal ini memberikan implikasi terhadap guru yang mengajar di kelas. Seyogya-nya guru dalam pembelajaran IPS dilakukan oleh seorang guru mata pelajar-an, yakni Guru Mata Pelajaran IPS.
Di sekolah pada umumnya guru-guru yang tersedia terdiri atas guru-gu-ru disiplin ilmu seperti guru Geografi, Sosiologi/Antropologi, Ekonomi, dan Sejarah. Guru dengan latar belakang tersebut tentunya sulit untuk beradaptasi ke dalam pengintegrasian disiplin ilmu-ilmu sosial, karena mereka yang me-miliki latar belakang Geografi tidak memiliki kemampuan yang optimal pada Ekonomi dan Sejaran, begitu pula sebaliknya. Di samping itu, pembelajaran IPS Terpadu juga menimbulkan konsekuensi terhadap berkurangnya beban jam pelajaran yang diemban guru-guru yang tercakup ke dalam IPS, sementa-ra ketentuan yang berkaitan dengan kewajiban atas beban jam mengajar un-tuk setiap guru masih tetap.
Untuk itu, dalam pembelajaran IPS dapat dilakukan dengan dua cara, yakni: (1) team teaching, dan (2) guru tunggal. Hal tersebut disesuaikan de-ngan keadaan guru dan kebijakan sekolah masing-masing.

a.    Team Teaching
Pembelajaran terpadu dalam hal ini diajarkan dengan cara team, satu to-pik pembelajaran dilakukan oleh lebih dari seorang guru. Setiap guru memili-ki tugas masing-masing sesuai dengan keahlian dan kesepakatan. Kelebihan sistem ini antara lain adalah: (1) pencapaian KD pada setiap topik efektif ka-rena dalam tim terdiri atas beberapa yang ahli dalam ilmu-ilmu sosial, (2) pe-ngalaman dan pemahaman peserta didik lebih kaya daripada dilakukan oleh seorang guru karena dalam satu tim dapat mengungkapkan berbagai konsep dan pengalaman, dan (3) peserta didik akan lebih cepat memahami karena diskusi akan berjalan dengan narasumber dari berbagai disiplin ilmu.
Kelemahan dari sistem ini antara lain adalah jika tidak ada koordinasi, maka setiap guru dalam tim akan saling mengandalkan sehingga pencapaian KD tidak akan terpenuhi. Selanjutnya, jika kurang persiapan, penampilan di kelas akan tersendat-sendat karena skenario tidak berjalan dengan semesti-nya, sehingga para guru tidak tahu apa yang akan dilakukan di dalam kelas.
Untuk itu maka diperlukan beberapa langkah seperti berikut.
1)    Dilakukan penelaahan untuk memastikan berapa KD dan SK yang harus dicapai dalam satu topik pembelajaran. Hal ini berkaitan dengan berapa guru bidang studi IPS yang dapat dilibatkan dalam pembelajaran pada to-pik tersebut.
2)    Setiap guru bertanggung jawab atas tercapainya KD yang termasuk dalam SK yang ia mampu, seperti misalnya SK-1 oleh guru dengan latar belakang Sosiologi/Antropologi, SK-2 oleh guru dengan latar belakang Geografi, dan seterusnya.
3)    Disusun skenario pembelajaran dengan melibatkan semua guru yang ter-masuk ke dalam topik yang bersangkutan, sehingga setiap anggota me-mahami apa yang harus dikerjakan dalam pembelajaran tersebut.
4)    Sebaiknya dilakukan simulasi terlebih dahulu jika pembelajaran dengan sistem ini merupakan hal yang baru, sehingga tidak terjadi kecanggungan di dalam kelas.
5)    Evaluasi dan remedial menjadi tanggung jawab masing-masing guru se-suai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, sehingga aku-mulasi nilai gabungan dari setiap Kompetensi Dasar dan Standar Kompe-tensi menjadi nilai mata pelajaran IPS.
 
b.    Guru Tunggal
Pembelajaran IPS dengan seorang guru merupakan hal yang ideal dila-kukan. Hal ini disebabkan: (1) IPS merupakan satu mata pelajaran, (2) guru dapat merancang skenario pembelajaran sesuai dengan topik yang ia kem-bangkan tanpa konsolidasi terlebih dahulu dengan guru yang lain, dan (3) oleh karena tanggung jawab dipikul oleh seorang diri, maka potensi untuk saling mengandalkan tidak akan muncul.
Namun demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam pembelajaran IPS terpadu yang dilakukan oleh guru tunggal, yakni: (1) oleh karena mata pela-jaran IPS terpadu merupakan hal yang baru, sedangkan guru-guru yang terse-dia merupakan guru bidang studi sehingga sangat sulit untuk melakukan peng-gabungan terhadap berbagai bidang studi tersebut, (2) seorang guru bidang studi geografi tidak menguasai secara mendalam tentang sejarah dan ekonomi sehingga dalam pembelajaran IPS terpadu akan didominasi oleh bidang studi geografi, serta (3) jika skenario pembelajaran tidak menggunakan metode yang inovatif maka pencapaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar tidak akan tercapai karena akan menjadi sebuah narasi yang kering tanpa mak-na.
Untuk tercapainya pembelajaran IPS Terpadu yang dilakukan oleh guru tunggal tersebut, maka dapat dilakukan beberapa hal sebagai berikut.
1)    Guru-guru yang tercakup ke dalam mata pelajaran IPS diberikan pelatih-an bidang-bidang studi di luar bidang keahliannya, seperti guru bidang studi Sejarah diberikan pelatihan tentang bidang studi Geografi dan Eko-nomi.
2)    Koordinasi antarbidang studi yang tercakup dalam mata pelajaran IPS te-tap dilakukan, untuk mereviu apakah skenario yang disusun sudah dapat memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan bidang studi di luar yang ia mampu.
3)    Disusun skenario dengan metode pembelajaran yang inovatif dan memun-culkan nalar para peserta didik sehingga guru tidak terjebak ke dalam pe-maparan yang parsial bidang studi.
4)    Persiapan pembelajaran disusun dengan matang sesuai dengan target pen-capaian Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar sesuai dengan topik yang dihasilkan dari pemetaan yang telah dilakukan.

2.    Peserta Didik
Dilihat dari aspek peserta didik, pembelajaran IPS Terpadu memiliki peluang untuk pengembangan kreativitas akademik. Hal ini disebabkan mo-del ini menekankan pada pengembangan kemampuan analitik, kemampuan asosiatif, serta kemampuan eksploratif dan elaboratif. Pembelajaran IPS Ter-padu ini akan lebih dipahami peserta didik jika dalam penyajiannya lebih me-ngupas pada permasalahan sosial yang ada, terutama permasalahan sosial di lingkungan peserta didik itu sendiri.
Selain itu, model pembelajaran IPS Terpadu dapat mempermudah dan memotivasi peserta didik untuk mengenal, menerima, menyerap, dan mema-hami keterkaitan atau hubungan antara konsep, pengetahuan, nilai atau tin-dakan yang terdapat dalam beberapa indikator dan Kompetensi Dasar.
Dengan mempergunakan model pembelajaran IPS Terpadu, secara psi-kologik, peserta didik digiring berpikir secara luas dan mendalam untuk me-
nangkap dan memahami hubungan-hubungan konseptual yang disajikan guru. Selanjutnya, peserta didik akan terbiasa berpikir terarah, teratur, utuh, menye-luruh, sistemik, dan analitik. Dengan demikian, pembelajaran model ini me-nuntun kemampuan belajar peserta didik lebih baik, baik dalam aspek inteli-gensi maupun kreativitas.

3.    Bahan Ajar
Bahan ajar memiliki peran yang penting dalam pembelajaran termasuk dalam pembelajaran terpadu. Oleh karena pembelajaran terpadu pada dasar-nya merupakan perpaduan dari berbagai disiplin ilmu yang tercakup dalam ilmu-ilmu sosial, maka dalam pembelajaran ini memerlukan bahan ajar yang lebih lengkap dan komprehensif dibandingkan dengan pembelajaran monoli-tik. Dalam satu topik pembelajaran, dalam hal ini, diperlukan sejumlah sum-ber belajar yang sesuai dengan jumlah Standar Kompetensi yang merupakan jumlah bidang studi yang tercakup di dalamnya. Jika pembelajaran dalam sa-tu topik tersebut mencakup seluruh SK (4 Standar Kompetensi), maka ia akan memerlukan bahan ajar yang mencakup empat bidang studi yakni Sosiologi/ Antropologi, Geografi, Sejarah, dan Ekonomi.
Sumber belajar utama yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS Terpadu dapat berbentuk teks tertulis seperti buku, majalah, brosur, surat ka-bar, poster dan informasi lepas, atau berupa lingkungan sekitar seperti: ling-kungan alam, lingkungan sosial sehari-hari. Seorang guru yang akan menyu-sun materi perlu mengumpulkan dan mempersiapkan bahan kepustakaan atau rujukan (buku dan pedoman yang berkaitan dan sesuai) untuk menyusun dan mengembangkan silabus. Pencarian informasi ini, sebenarnya dapat pula me-manfaatkan perangkat teknologi informasi mutakhir seperti multimedia dan internet.
Bahan yang akan digunakan dapat berbentuk buku sumber utama Sosio-logi/Antropologi, Geografi, Sejarah, dan Ekonomi maupun buku penunjang lainnya. Di samping itu, bahan bacaan penunjang seperti jurnal, hasil peneliti-an, majalah, koran, brosur, serta alat pembelajaran yang terkait dengan indi-kator dan Kompetensi Dasar ditetapkan. Sebagai bahan penunjang, dapat juga digunakan disket, kaset, atau CD yang berisi cerita atau tayangan yang berka-itan dengan bahan yang akan dipadukan. Guru, dalam hal ini, dituntut untuk rajin dan kreatif mencari dan mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan dalam pembelajaran. Keberhasilan seorang guru dalam melaksanakan pembe-lajaran terpadu tergantung pada wawasan, pengetahuan, pemahaman, dan tingkat kreativitasnya dalam mengelola bahan ajar. Semakin lengkap bahan yang terkumpulkan dan semakin luas wawasan dan pemahaman guru terha-dap materi tersebut maka berkecenderungan akan semakin baik pembelajaran yang dilaksanakan.
Bahan yang sudah terkumpul selanjutnya dipilah, dikelompokkan, dan disusun ke dalam indikator dari Kompetensi Dasar. Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul secara memadai, seorang guru selanjutnya perlu mem-pelajari secara cermat dan mendalam tentang isi bahan ajar yang berkaitan dengan langkah kegiatan berikutnya.
 
4.    Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang harus tersedia dalam pembelajaran IPS Ter-padu pada dasarnya relatif sama dengan pembelajaran yang lainnya, hanya saja ia memiliki kekhasan tersendiri dalam beberapa hal. Dalam pembelajaran IPS Terpadu, guru harus memilih secara jeli media yang akan digunakan, da-lam hal ini media tersebut harus memiliki kegunaan yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai bidang studi yang terkait dan tentu saja terpadu. Misalnya, peta yang digunakan tidak hanya peta yang dapat digunakan untuk Standar Kom-petensi yang berkaitan dengan Geografi saja melainkan juga seyogianya da-pat digunakan untuk mencapai Standar Kompetensi yang lainnya. Dengan de-mikian, efisiensi pemanfaatan sarana dapat terlaksana dalam pembelajaran ini.
Namun demikian, dalam pembelajaran ini tidak menutup kemungkinan untuk menggunakan sarana yang relatif lebih banyak dari pembelajaran mo-nolitik. Hal ini disebabkan untuk memberikan pengalaman yang terpadu, pe-serta didik harus diberikan ilustrasi dan demonstrasi yang komprehensif un-tuk satu topik tertentu. Guru dalam pembelajaran ini diharapkan dapat meng-optimalkan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan pembelajaran IPS Terpadu.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Gafur. 1986. Disain Instruksional: Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar. Sala: Tiga Serangkai.
Abdul Gafur. 1987. Pengaruh Strategi Urutan Penyampaian, Umpan Balik, dan Keterampilan Intelektual Terhadap Hasil Belajar Konsep. Jakarta: PAU - UT.
Udimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Por-tofolio. Bandung: Penerbit PT Genesindo.
Hayat, Bahrul “Penilaian Kelas (Classroom Assessment) dalam Penerapan Standar Kompetensi”, dalam Buletin Puspendik edisi Oktober 2004
Pusat Kurikulum. 2002. Penilaian Berbasis Kelas dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Bloom et al. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: the Classification of Educational goals. New York: McKay.
Center for Civics Education. 1997. National Standars for Civics and Governement. Calabasas CA: CEC Publ.
Dick, W. & Carey L. 1978. The Systematic Desgin of Instruction. Illinois: Scott & Co. Publication.
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2001. Kebijakan Pendidikan Me-nengah Umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Edwards, H. Cliford, et.al. 1988. Planning, Teaching, and Evaluating: A Competency Approach. Chicago: Nelson-Hall.
Gronlund, Norman E. 1984. Determining Accountabilty for Classroom Instruction. New York: Macmillan Publishing Company.
Hall, Gene E & Jones, H.L. 1976. Competency-Based Education: A process for the improvement of education. New Jersey: Englewood Cliffs, Inc.
Joice, B, & Weil, M. 1980. Models of Teaching. New Jersey: Englewood Cliffs, Publ.
Kemp, Jerold. 1977. Instructional Design: A Plan for Unit and Curriculum Development. New Jersey: Sage Publication.
Kaufman, Roger A. 1992. Educational Systems Planning. New Jersey: Englewood Cliffs.
Marzano RJ & Kendal JS. 1996. Designing standard-based districs, schools, and classrooms. Vriginia: Assiciation for Supervision and Curriculum Development.
McAshan, H.H. 1989. Competency-Based Education and Behavioral Objectives. New Jersey: Educational Technology Publications, Engelwood Cliffs.
Oneil Jr., Harold F. 1989. Procedures for Instructional Systems Development. New York: Academic Press.
Reigeluth, Charles M. 1987. Instructional Theories in Action: Lessons Illustrating Selected Theories and Models. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publ.
Russell, James D. 1984. Modular Instruction: A Guide to Design, Selection, Utilization and Evaluation of Modular Materials. Minneapolis: Burgess Publishing Company.
Fajar, Malik. 2004. “ Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Nation and Character Bulding”, Semiloka Nasional tentang Revitalisasi Nasionalis-me Indonesia Menuju Character and Nation Building, tanggal 18 Mei 2004.
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakar-ta: Pustaka Pelajar.
Nadiroh dan Etin Solihatin. 1998. Ilmu Politik, Kenegaraan dan Hukum da--lam PIPS, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP D-III.
Rosyada, Dede. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Ma-dani, Jakarta : Prenada Media dan TIM ICCE UIN Jakarta.
Soedijarto. 2004. “Kurikulum dan Sistem Evaluasi Pendidikan Sebagai Unsur Strattegis dalam Penyelenggaraan Sistem Pembelajaran Nasional”, Diskusi Panel Rakernas ISPI, tanggal 21 Januari 2004.
Winataputra, Udin S. 2004. “Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana Pendidikan Demokrasi Konstitusional RI”, Semiloka Nasional tentang Revitalisasi Nasionalisme IIndonesia Menuju Character and Nation Building, tanggal 18 Mei 2004.
Undang- undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.



 
  Today, there have been 39 visitors (50 hits) on this page!  
 
Semoga Bermanfaat
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free