1. Riwayat Hidup
Syekh Ahmad Khatib bin Abdul Latif bin Abdullah al-Minankabawi dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang agama dan adat yang kuat pada tanggal 26 Juni 1860 M/6 Dzulhijjah 1276 H di Bukittinggi, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya adalah seorang hakim dari kaum Paderi yang sangat menentang keberadaan kolonialisme di Minangkabau, Sumatera Barat.
Masa kecil Ahmad Khatib dihabiskan untuk belajar dan menuntut ilmu. Pada tahun 1870, ia masuk sekolah pemerintah Belanda di Minangka¬bau, Sumatera Barat. Ia kemudian melanjutkan pendidi¬kannya ke sekolah guru (kweekschool) di Bukittinggi. Sebagaimana anak-anak dari kaum Paderi lainnya, selain belajar di sekolah formal, ia juga belajar ilmu agama kepada orang tua dan guru ngajinya di Surau.
Pada tahun 1881, Ahmad Khatib pergi ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan memperdalam ilmu agama. Di kota ini, ia belajar kepada ulama Mekah, seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki. Di kota ini pula, ia kemudian mendapatkan wawasan baru tentang keislaman dan kondisi dunia Islam yang sedang terjajah, yang pada gilirannya menya¬darkan dirinya akan pentingnya sebuah persatuan dan kesatuan umat Islam untuk melepaskan diri dari penjajahan. Kesadaran ini, ia tanamkan kepada murid-muridnya, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek, Haji Abdullah Karim Amrullah, Haji Abdullah Ahmad, dan Kyai Ahmad Dahlan, yang di kemudian hari men-jadi pelopor gerakan pemba¬haruan agama sekaligus sebagai tokoh-tokoh per¬la¬wanan terhadap kolonialisme Belanda.
Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi merupakan ulama yang memiliki pendirian kuat dan menguasai berbagai displin ilmu. Dalam bidang fiqh dan akidah, ia masih tetap berpegang teguh pada madzhab Syafi‘i dan Ahl al-Sunnah wa al-Jama‘ah. Kedua hal inilah yang kemudian mengantarkannya menjadi imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram dan berhak menyandang gelar syekh. Ia wafat pada tanggal 9 Jumada al-Awal 1334 H/13 Maret 1916 M di Mekah, Saudi Arabia.
2. Pemikiran
Menurut riwayat, Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi meru¬pakan salah seorang tokoh intelektual abad ke-19 yang membawa gerakan pemba¬haruan (modernisme) Islam di Indonesia, khususnya daerah Minangkabau, meskipun setelah menunaikan ibadah haji (1882) hingga akhir hayatnya, ia tidak pernah kembali lagi ke tanah kelahirannya. Namun demikian, ia tetap menjalin hubungan intensif dengan orang-orang Indonesia, baik melalui mereka yang menu¬naikan ibadah haji maupun melalui para muridnya yang memper¬dalam ilmu agama di Mekah. Jabatannya sebagai imam madzhab Syafi‘i di Masjid al-Haram membuka peluang yang luas baginya untuk mentransfor¬masikan pemiki¬ran-pemi¬kiran reformatif kepada para jama‘ah haji dan murid-muridnya.
Pada dasarnya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi pemikiran Syekh Ahmad Khatib, pertama, ia hidup pada masa kemunculan gerakan Islamic Revivalism yang bermarkas di Mekah; kedua, ia menyaksikan perkembangan gerakan antikoloni¬alisme di dunia Islam yang semakin mendunia. Dengan demikian, setidaknya ada dua bi¬dang yang menjadi fokus pe¬mi¬kiran¬-nya, yaitu bidang akidah dan bidang politik.
a. Bidang Akidah
Dalam bidang aqidah Syekh Ahmad Khatib tidak hanya bebrturan dengan golongan satu agama, tetapi beliau juga berbenturan dengan tokoh agama lain yaitu Martin van Bruinessen. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Syekh Ahmad Khatib banyak menentang praktek-praktek adat dan tingkah laku yang bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya ten¬tang praktek tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyyah di Minang¬ka¬bau, Sumatera Barat. Di samping itu, ia juga menolak hukum waris adat Minangkabau yang menganut sistem matrilinieal (adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu), yang kemudian menjadi bahan perdebatan dengan kaum adat tanpa berkesudahan.
Pada tahun 1906, ia menulis buku yang berjudul “Izhharu Zaghlil Kazibin fi Tasyabbuhihim bish Shadiqin” yang merupakan tulisan sanggahan terhadap tarekat Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah di Minangkabau. Kitab tersebut mengundang kemarahan seluruh penganut tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah dan penganut-penganut tarekat lain¬nya. Syekh Muhammad Sa‘ad Mungka (salah seorang ulama dari ‘kaum tua‘ yang menganut tarekat Naqsyabandiyyah) menanggapi karya tersebut dengan bukunya yang berjudul “Irghamu Unufi Muta‘annitin fi Inkarihim Rabithatil Washilin.”
Dengan terbitnya karya Mungka tersebut, Syekh Ahmad Khathib al-Minankabawi kemudian menjawabnya kembali dengan bukunya yang berjudul “Al-Ayatul Baiyinat lil Munshifin fi Iza¬lati Khurafati Ba‘dhil Muta‘ashshibin.” Karya ini juga kembali disa¬ng¬gah oleh Syekh Muhammad Sa‘ad Mungka dengan karyanya yang berjudul “Tanbihul ‘Awam ‘ala Taqrirati Ba‘dhil Anam.” Publikasi perdebatan-perdebatan ini kemudian mem¬bang¬¬kitkan sema-ngat para pemba¬haru Islam di Minangkabau, yang kemu¬dian menjalar ke Pulau Jawa seperti gerakan pembaharuan agama ala Muhammadiyah yang dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan. Setelah karya ini, tidak terdapat sanggahan kembali dari Syekh Ahmad Khathib al-Minankabawi.
b. Bidang Politik
Menurut Haji Agus Salim, dalam suatu seminar di Cornel University (4 Maret 1953), Syekh Ahmad Khatib adalah ulama yang anti Belanda. Perasaan itu selalu ia gelorakan kepada murid-muridnya di Mekah. Ia berpendapat bahwa berperang melawan penjajah adalah jihad di jalan Allah. Kebenciannya terhadap kolonialis dapat dilihat dari hubungan¬nya yang kurang baik dengan Snouck Hurgronje, ilmuwan dan orient¬talis asal Belanda, ketika mengunjunginya di Mekah pada tahun 1885.
3. Karya
Sebagai ulama besar Melayu yang bermukim di Mekah, Syekh Ahmad Khatib al-Minankabawi telah menulis beberapa karya, baik berba¬ha¬sa Melayu maupun berbahasa Arab, di antaranya:
Al-Jauharun Naqiyah fil A'mali Jaibiyah (bahasa Arab), diselesaikan pada hari senin, 28 Zulhijjah 1303 H. Kandungannya membicarakan ilmu miqat. Dicetak oleh Mathba'ah al- Maimuniyah, Mesir, Rajab 1309 H.
Hasyiyatun Nafahat `ala Syarhil Waraqat (bahasa Arab), diselesaikan pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H. Kandungannya mengenai ilmu ushul fiqh. Dicetak oleh Mathba'ah Darul Kutub al-'Arabiyah al-Kubra, Mesir, 1332 H.
Raudhatul Hussab fi A'mali `Ilmil Hisab (bahasa Arab), diselesaikan peringkat pertama hari pada Ahad, 19 Zulkaidah 1307 H di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaidah 1310 H.
Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushl wal Furu' (bahasa Melayu). Diselesaikan pada 14 Muharam 1309 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembahagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaidah 1311 H. Sebagian lagi dicetak karya beliau berjudul Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu' (bahasa Melayu).
`Alamul Hussab fi `Ilmil Hisab (bahasa Melayu), diselesaikan pada 6 Jamadilakhir 1310 H. di Mekah. Kandungannya mengupas dengan mendalam perkara matematik. Dicetak oleh Mathba'ah al-'Amirah al-Miriyah, Mekah, akhir Zulkaidah 1313 H. Sebagian lagi dicetak karya beliau berjudul An-Nukhbatun Nahiyah Tarjamah Khulashatil Jawahirin Naqiyah fil A'malil Jabiyah (bahasa Melayu), selesai mengarang pada malam Sabtu, 6 Jumadil akhir 1313 H.
Al-Manhajul Masyru' Tarjamah Kitab Ad-Da'il Masmu' (bahasa Melayu), diselesaikan pada hari Kamis, 26 Jumadilawal 1311 H. di Mekah. Kandungannya mengenai pembaagian pusaka menurut agama Islam dan membantah pusaka menurut ajaran adat Minangkabau. Dicetak oleh Mathba'ah al-Maimuniyah, Mesir, Zulkaedah 1311 H. Sebagian lagi dicetak karya beliau berjudul Ad-Da'il Masmu' fir Raddi `ala man Yuritsul Ikhwah wa Auladil Akhawat ma'a Wujudil Ushul wal Furu'.
Dhau-us Siraj (bahasa Melayu), diselesaikan pada malam 27 Rabiul akhir 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan Isra dan Mikraj. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1325 H.
Shulhul Jama'atain bi Jawazi Ta'addudil Jum'atain (bahasa Arab), diselesaikan pada malam Selasa, 15 Rajab 1312 H. di Mekah. Kandungannya membicarakan shalat Jum’at, merupakan sanggahan sebuah karya Habib `Utsman Betawi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1312 H.
Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara. Kandungannya adalah tentang penolakan doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
4. Penghargaan
Atas penguasan dan pengetahuannya tentang madzhab imam Syafi‘i, Syekh Ahmad Khatib telah diangkat sebagai “Imam Khatib dan Mufti Besar Madzhab Syafi‘i” di Masjid al-Haram, Mekah, sehingga ia berhak mengajarkan madzhab Syafi‘i dan menyandang gelar ‘syekh‘. Menurut riwayat, ia adalah satu-satunya ulama Indonesia yang mencapai penghargaan setinggi itu.
Sumber dan Referensi
Steenbringk, Karel A. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad Ke-19. Jakarta: P.T Bulan Bintang. 1984.
Suprapto, M. Bibit. Ensiklopedi Ulama Nusantara; Riwayat Hidup, Karya dan Sejarah Perjuangan 157 Ulama Nusantara. Jakarta: GELEGAR MEDIA INDONESIA. 2009.
Majalah Percikan Iman, No. 5, Tahun I, November 2000.