WELCOME

   
  deryjamaluddin
  PAI di Sekolah
 

PENDIDIKAN AGAMA ISAM DI SEKOLAH

Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) terutama pada standar isi, standar proses pembelajaran, standar pendidik dan tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah juga mengimplementasikan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, bahwa pendidikan Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, pertama, pendidikan agama diselenggarakan dalam bentuk pendidikan agama Islam di satuan pendidikan pada semua jenjang dan jalur pendidikan. Kedua, pendidikan umum berciri Islam pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Ketiga, pendidikan keagamaan Islam pada berbagai satuan pendidikan diniyah dan pondok pesantren yang diselenggarakan pada jalur formal, dan non formal, serta informal. Pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam pada sekolah diarahkan pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan agama Islam pada sekolah dengan perkembangan kondisi lingkungan lokal, nasional, dan global, serta kebutuhan peserta didik. Kegiatan dalam rangka pengembangan kurikulum adalah pembinaan atas satuan pendidikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan agama Islam tingkat satuan pendidikan.

Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah yang sedang berlangsung belum semuanya memenuhi harapan kita sebagai umat Islam mengingat kondisi dan kendala yang dihadapi, maka diperlukan pedoman dan pegangan dalam membina pendidikan agama Islam. Ini semua mengacu pada usaha strategis pada rencana strategis kebijakan umum Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam Departemen Agama yaitu peningkatan mutu khusus mengenai pendidikan agama Islam di sekolah, peningkatan mutu itu sendiri terkait dengan bagaimana kualitas hasil pembelajaran pendidikan agama Islam pada peserta didik yang mengikuti pendidikan di sekolah. Mutu itu sendiri sebetulnya sesuatu yang memenuhi harapan-harapan kita. Artinya kalau pendidikan itu bermutu hasilnya memenuhi harapan-harapan dan keinginan-keinginan kita. Kita bukan hanya sebagai pengelola, tetapi juga sebagai pelaksana bersama semua pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk masyarakat, orang tua. Dalam kenyataan pendidikan agama Islam di sekolah masih banyak hal yang belum memenuhi harapan. Misalnya kalau guru memberikan pendidikan agama Islam kepada peserta didik, maka tentu yang kita inginkan adalah peserta didik bukan hanya mengerti tetapi juga dapat melaksanakan praktek-praktek ajaran Islam baik yang bersifat pokok untuk dirinya maupun yang bersifat kemasyarakatan. Karena di dalam pendidikan agama Islam bukan hanya memperhatikan aspek kognitif saja, tetapi juga sikap dan keterampilan peserta didik. Peserta didik yang mendapatkan nilai kognitifnya bagus belum bisa dikatakan telah berhasil jika nikai sikap dan keterampilannya kurang. Begitu pula sebaliknya, jika sikap dan/atau keterampilannya bagus tetapi kognitifnya kurang, belum bisa dikatakan pendidikan agama Islam itu berhasil. Inilah yang belum memenuhi harapan dan keinginan kita. Contoh lainnya, hampir sebagian besar umat Islam menginginkan peserta didiknya bisa membaca Al Quran, namun bisakah orang tua mengandalkan kepada sekolah agar peserta didiknya bisa membaca Al Quran, praktek pendidikan agama Islam di sekolah, bisa mengerti dan mampu melaksanakan pokok-pokok ajaran agama atau kewajiban-kewajiban ‘ainiyah seperti syarat dan rukun shalat. Maka sekolah nampaknya belum bisa memberikan harapan itu karena terbatasnya waktu alokasi atau jam pelajaran di sekolah.

Penyelenggaraan pendidikan agama Islam di sekolah penuh tantangan, karena secara formal penyelenggaraan pendidikan Islam di sekolah hanya 2 jam pelajaran per minggu. Jadi apa yang bisa mereka peroleh dalam pendidikan yang hanya 2 jam pelajaran. Jika sebatas hanya memberikan pengajaran agama Islam yang lebih menekankan aspek kognitif, mungkin guru bisa melakukannya, tetapi kalau memberikan pendidikan yang meliputi tidak hanya kognitif tetapi juga sikap dan keterampilan, guru akan mengalami kesulitan. Kita tahu bahwa sekarang di kota-kota pada umumnya mengandalkan pendidikan Islam di sekolah saja, karena orang-orangnya sibuk dan jarang sekali tempat-tempat yang memungkinan mereka belajar agama Islam. Jadi guru ini kalau dipercaya untuk mendidik pendidikan agama Islam di sekolah, keislaman mereka ini adalah tanggung jawab moral. Oleh karena itu jangan hanya mengandalkan guru-guru yang hanya mengajar di sekolah saja, akan lebih baik apabila menciptakan berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang memungkinkan mereka bisa belajar agama Islam lebih banyak lagi.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah bagi peserta didik mengandalkan pendidikan agamanya hanya dari sekolah. Namun bagi peserta didik yang tinggal di daerah yang ada madrasah diniyah atau pesantren mengikuti pendidikan agama Islam di sekolah tidak terlalu banyak menghadapi masalah, karena mereka bisa sekolah dan bisa juga belajar agama Islam di diniyah atau pesantren. Tetapi kondisi semacam ini pada masa sekarang sudah sulit dijumpai. Ada beberapa kemungkinan yang dihadapi oleh peserta didik, yaitu peserta didik belajar agama Islam dari sisa waktu yang dimiliki oleh orang tuanya. Peserta didik belajar agama Islam dengan mengundang ustadz ke rumahnya. Ada pula peserta didik yang hanya mengandalkan pendidikan agama Islam dari sekolahnya tanpa mendapatkan tambahan belajar agama dari tempat lain. Dalam pendidikan agama Islam banyak yang mesti dikuasai oleh peserta didik, seperti berkaitan dengan pengetahuan, penanaman akidah, praktek ibadah, pembinaan perilaku atau yang dalam Undang-Undang disebut pembinaan akhlak mulia. Kendala dan tantangan dalam pelaksanaan pembelajaran agama Islam di sekolah antara lain karena waktunya sangat terbatas, yaitu hanya 2 jam pelajaran per minggu. Menghadapi kendala dan tantangan ini, maka guru yang menjadi ujung tombak pembelajaran di lapangan/sekolah, perlu merumuskan model pembelajaran sebagai implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), khususnya kurikulum mikro pada kurikulum agama Islam di sekolah. Cara yang bisa ditempuh guru dalam menambah pembelajaran pendidikan agama Islam melalui pembelajaran ekstra kurikuler dan tidak hanya pembelajaran formal di sekolah. Pembelajaran dilakukan bisa di sekolah, yaitu di kelas atau di mushala. Bisa pula di rumah atau tempat yang disetujui. Waktu belajarnya tentu diluar jam pelajaran formal. Cara ini memang membutuhkan tambahan fasilitas, waktu, dan tenaga guru, tapi itulah tantangan guru yang tidak hanya mengajar tetapi memiliki semangat dakwah untuk menyebarkan ilmu di mana pun dan kapan pun. Untuk itu diperlukan koordinasi dan kerja sama yang baik antara guru dengan orang tua.

Gambaran umum tentang mutu pendikan pendidikan agama Islam di sekolah belum memenuhi harapan-harapan dalam peningkatan kualitas pendidikan agama Islam di sekolah yang menjadi agama sebagai benteng moral bangsa. Kondisi ini dipengaruhi sekurang-kurangnya oleh tiga faktor, yaitu pertama sumber daya guru, kedua pelaksanaan pendidikan agama Islam, dan ketiga terkait dengan kegiatan evaluasi dan pengujian tentang pendidikan agama Islam di sekolah.

1. Sumber daya manusia berupa guru.

Pendidikan mutu guru sebagai pendidik dan tenaga kependikan dilaksanakan dengan mengacu pada standar pendidik dan tenaga kependidikan mata pelajaran dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan penyediaan guru pendidikan agama Islam untuk satuan pendidikan peserta didik usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi pada jalur formal dan non formal, serta informal. Dilakukan pula pendidikan dan pelatihan metode pembelajaran pendidikan agama Islam, pemberian bea peserta didik Strata 1 (S – 1) untuk guru pendidikan agama Islam, dan juga melakukan sertifikasi guru pendidikan agama Islam.

Guru pendidikan agama Islam di sekolah dilihat dari segi latar belakang pendidikan kira-kira 60% khususnya sudah mencapai S – 1 dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Namun lulusan S1 ini belum mejadikan guru yang bermutu dalam menyampaikan pendidikan agama Islam. Oleh karena itu guru perlu dibina dalam bentuk kelompok kerja guru mata pelajaran yang dikenal dengan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) untuk meningkatkan kemampuannya, karena peningkatan kemampuan itu harus dilakukan secara terus-menerus, belajar sepanjang hayat, minal mahdi ilallahdi. Apalagi zaman sekarang perkembangan ilmu pengetahuan sangat pesat yang jika tidak diikuti maka guru akan ketinggalan informasi. Di MGMP digunakan sebagai forum meningkatkan kemampuan secara internal melalui upaya diskusi kelompok atau belajar kelompok.

Peningkatan kemampuan guru juga diberikan kepada guru-guru yang belum mencapai gelar S – 1 sesuai dengan Undang-Undang yaitu memberikan kesempatan melanjutkan pendidikan tanpa banyak meninggalkan tugas-tugas di sekolah yaitu dengan merancang suatu program pendidikan dualmode system. Dualmode system adalah dua modus belajar yaitu menggunakan modul sebagai bahan belajar mandiri (BBM), kemudian ada kuliah secara tatap muka di tempat yang sudah ditunjuk dan disepakati antara mahasiswa dengan dosennya. Dualmode system itu hakekatnya sama dengan Universitas Terbuka yang melaksanakan belajar jarak jauh, namun berbeda dengan kelas jauh dari suatu perguruan tinggi. Kalau kelas jauh perguruan tinggi membuka kelas di luar kampusnya, sehingga menyulitkan untuk mengontrol kualitas pembelajaran dan kualitas lulusannya. Program belajar jarak jauh belajarnya menggunakan sarana atau alat, dengan alat utamanya berupa modul. Jadi yang dipelajari adalah modul sebagai bahan kuliah. Di dalam modul itu ada tujuan pembelajarannya yang harus dicapai setelah menyelesaikan satu materi pelajaran, ada materi pelajaran yang diajarkannya kemudian langsung dilengkapi dengan format evaluasinya. Mereka belajar sendiri dan mengukur kemampuan sendiri. Tetapi pada waktu-waktu tertentu mereka diberikan kesempatan untuk berkumpul di suatu tempat yang ditentukan, kemudian dosennya datang untuk memberikan respons, tanya jawab, diskusi, dan pengayaan terhadap modul yang sudah dipelajari tersebut. Begitu pula ujiannya diisi langsung oleh dosen. Inilah yang disebut dengan belajar jarak jauh plus tatap muka.

Dengan demikian guru-guru tidak terlalu berat meninggalkan waktu sekolah, tetapi tetap harus datang ke tempat-tempat yang telah ditunjuk untuk kuliah tatap muka. Secara Undang-Undang pun kegiatan ini legal, karena ada pasal atau Bab dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 pasal 31 dan SK Mendiknas No. 107/U/2001 tentang PTJJ (Perguruan Tinggi Jarak Jauh). Dalam Undang-Undang itu secara lebih spesifik mengizinkan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia untuk melaksanakan pendidikan melalui cara Perguruan Tinggi Jarak Jauh dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi, misalnya dengan memanfaatkan perangkat komputer dengan internetnya seperti e-learning atau e-mail. Belajar jarak jauh ini tidak boleh diselenggarakan atau dibuka oleh perguruan tinggi yang tidak ditugasi, jadi harus dikendalikan atau dikoordinasikan.

Ada dua jalur/cara dalam rangka peningkatan kualitas kemampuan guru, pertama adanya jalur resmi untuk mengikuti pendidikan S1, kedua yang rutin mengikuti kegiatan-kegiatan melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Dari kedua jalur ini, diharapkan guru pendidikan agama Islam di sekolah tidak berjalan begitu saja dan kemampuannya juga tidak meningkat. Sebagai orang Islam kita berpegang kepada suatu kaidah yang menyatakan bahwa kalau hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka celaka. Kalau hari ini sama dengan hari kemarin, maka rugi, dan kalau hari ini lebih bagus dari hari kemarin, maka beruntung. Maka harus ada upaya-upaya untuk terus menerus belajar minal mahdi ilallahdi. Dalam salah satu hadits dinyatakan bahwa jadilah kalian orang yang mengajar, atau jadilah orang-orang belajar atau kalau tidak kedua-duanya sekurang-kurangnya mendengarkan. Janganlah jadi yang keempat yaitu tidak mengajar, tidak belajar, dan tidak mendengar. Untuk itulah guru yang harus selalu meningkatkan kualitas dirinya.

2. Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Pelaksanaan proses pembelajaran pendidikan agama Islam berorientasi pada penerapan Standar Nasional Pendidikan. Untuk itu dilakukan kegiatan-kegiatan seperti pengembangan metode pmbelajaran pendidikan agama Islam, pengembangan kultur budaya Islami dalam proses pembelajaran, dan pengembangan kegiatan-kegiatan kerokhanian Islam dan ekstrakurikuler.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah masih menunjukkan keadaan yang memprihatinkan. Banyak faktor yang menyebabkan keprihatinan itu, antara lain pertama, dari segi jam pelajaran yang disediakan oleh sekolah secara formal, peserta didik dikalkulasikan waktunya hanya 2 jam pelajaran per minggu untuk mendidik agama. Coba bandingkan dengan mata pelajaran lainnya yang bisa mencapai 4 – 6 jam per minggu. Implikasinya bagi peserta didik adalah hasil belajar yang diperolehnya sangat terbatas. Sedangkan implikasi bagi guru itu sendiri adalah guru dituntut untuk melaksanakan kewajiban menyelenggarakan proses pembelajaran sebanyak 24 jam per minggu. Yang jadi persoalan adalah kalau seorang guru agama ditugasi mengajar di sekolah, misalnya di sekolah dasar (SD) ada 6 kelas kemudian di satu kelas guru mengajar 3 jam pelajaran, sehingga maksimal pembelajaran yang dilaksanakan guru adalah 18 jam pelajaran. Berarti guru tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan tugas yang diberikan oleh pemerintah. Implikasinya adalah guru tersebut tidak berhak memperoleh tunjangan-tunjangan sebagai guru karena kewajiban mengajarnya belum memenuhi syarat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Tuntutan itu harus benar-benar diperhitungkan karena pemerintah memberikan dan menaikkan tunjangan-tunjangan bukan hanya gaji kepada guru yang melaksanakan tugas kewajibannya sesuai dengan jumlah jam pelajaran yang sudah ditentukan. Mulai tahun 2009 ini sekurang-kurangnya gaji guru ini bisa memperoleh penghasilan 4 juta rupiah kalau sudah disertifikasi. Sehingga upaya pemerintah ini cukup bagus yaitu dengan menaikkan kesejahteraan guru. Kemudian supaya guru-guru memenuhi tuntutan itu, maka guru dapat menggunakan ekstra kurikuler di dalam pembinaan agama Islam. Untuk ekstra kurikuler banyak yang bisa dilakukan. Misalnya membina peserta didik belajar Al Quran, praktek wudlu maupun praktek sholat dan sebagainya. Kalau tidak melalui ekstrakurikuler dan dikontrol satu persatu maka tidak akan ketemu orang yang memang memerlukan pembinaan itu. Jadi yang namanya mengajar itu jangan hanya cukup di dalam kelas saja, apalagi kelas itu kurang dari tuntutan minimal wajib mengajar. Jadi seharusnya dilakukan diskusi-diskusi dengan guru-guru agama untuk memenuhi tuntutan kewajiban mengajar.

Pelaksanaan pendidikan agama Islam tidak hanya disampaikan secara formal dalam suatu proses pembelajaran oleh guru agama, namun dapat pula dilakukan di luar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru bisa memberikan pendidikan agama ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggung jawab bersama semua guru. Artinya bukan hanya tugas dan tanggung jawab guru agama saja melainkan juga guru-guru bidang studi lainnya. Guru-guru bidang studi itu bisa menyisipkan pendidikan agama ketika memberikan pelajaran bidang studi. Dari hasil pendidikan agama yang dilakukan secara bersama-sama ini, dapat membentuk pengetahuan, sikap, perilaku, dan pengalaman keagamaan yang baik dan benar. Peserta didik akan mempunyai akhlak mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat keagamaan sehingga menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya.

3. Melakukan Evaluasi.

Mengenai evaluasi pendidikan agama Islam ini terkadang terjadi hal-hal yang di luar dugaan. Misalnya ada peserta didik yang jarang sekolah, malas dan merasa terpaksa mengikuti pelajaran agama, tetapi ketika dievaluasi dia mendapatkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan peserta didik yang rajin belajar agama. Artinya yang salah itu adalah evaluasinya karena yang dilakukan hanyalah mengukur unsur kognitifnya saja. Oleh karena itu evaluasi pendidikan agama Islam jangan hanya mengandalkan evaluasi kemampuan kognitif saja, tetapi harus dievaluasi juga sikap, prakteknya atau keterampilan (psikomotor) dan sikapya (afektif). Guru melakukan pengamatan terhadap perilaku sehari-hari peserta didik tersebut apakah peserta didik itu shalat? Kalau dilaksanakan apakah shalatnya benar sesuai tata caranya? Evaluasi ini sebetulnya menentukan status peserta didik tentang hasil belajarnya itu apakah sudah mencapai tujuan yang ingin dicapai atau tidak. Kalau tujuan agama itu adalah supaya peserta didik bisa menjalankan agama Islam dengan baik maka evaluasinya harus sesuai, dan evaluasinya itu bukan hanya hafal tentang kaidah-kaidah tentang kemampuan kognitif saja tetapi juga yang bersifat praktikal. Berkaitan dengan evaluasi pendidikan agama Islam, ada usulan yang kuat dari berbagai kalangan agar pendidikan agama Islam sebaiknya masuk pada ujian nasional, sehingga menjadi bahan untuk dipertimbangkan peserta didik lulus atau tidak lulus di suatu lembaga pendidikan. Ujiannya jangan sekedar mengukur kemampuan kognitif melainkan juga kemampuan yang bersifat psikomotor, praktek dan perilaku, serta sikap peserta didik sebagai orang yang menganut ajaran agama Islam.

Minimum essential dalam teori kurikulum

Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa pendidikan agama dan keagamaan menjadi bagian dari pendidikan nasional. Pendidikan agama Islam merupakan pendidikan yang bertujuan memberikan bekal kemampuan yang bersifat kognitif, afektif, dan psikomotor tentang suatu agama yang dianut peserta didik, khususnya agama Islam, dengan memberikan kemampuan dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam sebagai seorang muslim. Kendala yang dihadapi dalam mengajarkan pendidikan agama Islam adalah kurang seimbangnya materi pelajaran yang diberikan dalam pendidikan agama Islam dengan alokasi waktu yang diberikan dalam kurikulum sekolah yaitu 2 jam pelajaran per minggu.

Sungguh berat memang tantangan yang harus dihadapi dan dilaksanakan guru pendidikan agama Islam. Oleh karena itu, guru perlu menerapkan yang dalam teori kurikulum disebut minimum essential, yaitu kemampuan-kemampuan minimal yang harus dikuasai oleh peserta didik terkait dengan penguasaan agama Islam, atau memberikan bekal kemampuan yang bersifat minimum tetapi essensial. Misalnya peserta didik lebih diprioritaskan mempelajari dan memahami pokok-pokok cara mengerjakan shalat yang meliputi rukun, wajib, atau syarat sahnya shalat. Contoh lainnya tentang materi zakat. Dalam pemahaman zakat akan berbeda antara yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren dan yang tidak pernah ikut pesantren. Jika merujuk pada Imam Ghazali yang mengungkapkan “suatu ilmu itu wajib dipelajari ketika dia akan melaksanakan kewajiban itu.” Jadi bagi orang yang belum akan berzakat merasa belum perlu memahami tentang zakat. Namun ketika akan berzakat maka dia wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami pokok-pokok cara-cara berzakat. Begitu pula peserta didik yang belum wajib shalat belum wajib mempelajari tata cara shalat, tetapi ketika peserta didik itu sudah baligh dan memiliki kewajiban melaksanakan shalat, maka dia harus mempelajari tata cara shalat. Oleh karena itu dalam merancang pendidikan agama Islam yang harus dipilih adalah materi-materi yang penting yang minimal harus dikuasai oleh peserta didik. Itulah pokok dari essensial minimum dalam pengembangan kurikulum. Sehingga pembelajaran itu benar-benar menjadi fungsional karena sesuai dengan tujuan dan kebutuhan peserta didik yang mempelajari materi tersebut. Guru pun harus mencari model-model pembelajaran yang efektif agar materi pelajaran yang essensial minimum itu bisa diberikan secara penuh dan dipahami peserta didik. Guru perlu membuat kriteria-kriteria essensial minimum dari pelajaran pendidikan agama Islam di sekolah, kemudian dibuat pendalaman atau perluasannya yang proses pembelajarannya bisa di sekolah atau ekstra kurikuler. Sehingga ketika peserta didik ini lulus dari jenjang pendidikan tertentu, minimal bisa menjalankan hal-hal yang minimal dikuasainya. Jangan sampai materi pelajaran yang seharusnya belum perlu dipahami peserta didik tetapi sudah dipelajari oleh peserta didik tersebut, padahal waktu yang tersedia sangat terbatas hanya 2 jam pelajaran per minggu. Misalnya apakah akan terjadi kesulitan ketika mengajarkan keimanan agar dipahami secara kuat oleh peserta didik? Apakah cukup hanya dengan menceramahinya tentang rukun iman? Dalam mengajarkan agama banyak tantangannya, seperti pikiran peserta didik yang pragmatis, pengaruh-pengaruh dari luar atau lingkungan, baik lokal maupun global yang membawa pengaruh negatif.

Orientasi model pembelajaran pendidikan agama Islam perlu memperhatikan beberapa hal, pertama, mempertimbangkan kurikulum dengan memperhatikan materi essensial yang memungkinan diberikan kepada peserta didik dengan tetap mengacu pada standar nasional dalam merancang kurikulum pendidikan agama Islam di sekolah. Kedua, memperhatikan proses pembelajaran atau model pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah baik di dalam kelas (intra kurikuler) maupun ekstra kurikuler. Ketiga, sikap guru pendidikan agama Islam dalam mengajar. Guru pendidikan agama Islam tidak hanya memikirkan tuntutan kewajiban formal mengajar di sekolah. Namun memiliki jiwa dan semangat sebagai muslim yang mempunyai kewajiban untuk mengajar menyampaikan ilmu pengetahuan dan mendidik peserta didik sehingga dapat menyiarkan dan melestarikan agama Islam.

Mempertimbangkan kurikulum dengan memperhatikan materi essensial yang memungkinan diberikan kepada peserta didik perlu memperhatikan materi pembelajaran. Materi pembelajaran dalam kurikulum pendidikan agama Islam kurang berorientasi pada kehidupan nyata sehari-hari peserta didik. Peserta didik lebih banyak dijejali dengan berbagai informasi dan pengetahuan. Pendidikan agama Islam dilakukan oleh guru dengan cara seperti mengajarkan mata pelajaran lain yang lebih menekankan aspek kognitif. Pemahaman terhadap materi pembelajaran akan selesai setelah mengikuti pelajaran tersebut tanpa ada dampak atau pengaruhnya (nurturant effect) terhadap peserta didik dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Sasaran pendidikan agama Islam adalah membentuk perilaku peserta didik yang sesuai dengan ajaran agama, bukan hanya mengetahui atau memahami suatu pengetahuan. Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam kurikulum pendidikan agama Islam sehingga mempunyai dampak atau pengaruh yang nyata dalam kehidupan peserta didik, pada aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilannya. Misalnya jika peserta didik mempelajari tentang ibadah bukan hanya memahami konsep tentang ibadah saja namun juga melakukan praktek ibadah tersebut. Begitu pula ketika mengajarkan zakat, terkadang diajarkan secara tidak realistik. Peserta didik SD sudah mendapatkan materi pembelajaran tentang zakat yang sangat banyak dan mendalam sampai menyita waktu banyak dan mengabaikan materi pembelajaran lainnya, padahal peserta didik usia SD belum sampai pada kemampuan untuk berzakat. Akhirnya materi pembelajaran tidak menyentuh pada hal-hal yang penting dari pelajaran itu. Oleh karena itu ruang lingkup dan urutan materi pendidikan agama Islam perlu diatur dengan baik dan tepat disesuaikan dengan karakteristik dan usia peserta didik, kemudian diatur pula alokasi waktunya yang tepat.

Madrasah yang kini sudah menjadi sekolah umum yang bercirikan Islam saja dengan kurikulum yang 6 jam pelajaran per minggu itu belum tentu bisa membekali peserta didik memiliki pemahaman yang baik tentang Pendidikan Agama Isalam kalau tidak mengaji dan melakukan kegiatan pendukung lainnya yang memadai. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 ada hal yang menggembirakan yaitu disamakannya madrasah dengan jenjang sekolah, tetapi kekhawatirannya juga ada yaitu berkurangnya jam-jam pelajaran terutama yang berkaitan dengan keagamaan. Sehingga tidak menutup kemungkinan ke depannya lulusan madrasah yang membaca Al Quran belum benar, karena mengikuti pendidikan hanya 6 jam pelajaran per minggu apalagi dengan mengikuti pendidikan formal.

Pengembangan pendidikan agama Islam pada sekolah yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) khususnya standar sarana dan prasarana pendidikan. Pengembangan sarana dan prasarana pendidikan dilaksanakan melalui sejumlah kegiatan seperti penyediaan buku pedoman guru pendidikan agama Islam, penyediakan buku teks atau buku pelajaran pendidikan agama Islam, dan penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam.

Buku pedoman guru untuk membantu guru mencapai tujuan pengajaran yang digunakan baik untuk menyusun silabus maupun menyusun buku yang digunakan oleh guru dalam mengajar, sehingga ketika menyusun silabus akan terhindar dari kesalahan konsep. Buku pedoman guru sangat penting sebagai pedoman untuk menentukan standar kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pembelajaran. Materi pembelajaran pada buku kurikulum hanya pokok-pokok materi pembelajaran, sehingga tugas gurulah untuk aktif dan kreatif mengembangkan materi pembelajaran tersebut.

Buku teks atau buku pelajaran merupakan sumber bahan rujukan. Buku teks sebagai sumber bahan belajar utama dalam penyusunan silabus, sebaiknya tidak satu jenis atau dari satu orang pengarang. Buku teks yang digunakan hendaknya bervariasi agar mendapatkan materi pembelajaran yang luas. Bagi guru-guru di sekolah buku pelajaran merupakan faktor yang sangat penting untuk menunjang keberhasilan pembelajaran. Oleh karena itu perlu diperhatikan scope (ruang lingkup) dan sequence (urutan) isi materinya agar mudah memudahkan dipahami baik oleh guru maupun peserta didik. Buku pelajaran pendidikan agama Islam dalam penyusunannya hendaknya selalu memperhatikan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia Indonesia yang bertakwa dan berbudipeketi luhur. Selain itu, dalam kurikulum pendidikan, perlu menyediakan dukungan bahan dan sarana pembelajaran seperti kitab suci, buku referensi keagamaan dan tempat ibadah.

Penyediaan alat peraga pendidikan agama Islam berkaitan dengan media pembelajaran yang merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran seperti media cetak, media pembelajaran elektronik, dan sebagainya. Media cetak seperti buku, bulletin, jurnal, koran, majalah, dan sebagainya yang berkaitan langsung dengan materi pendidikan agama Islam atau materi pelajaran yang sifatnya umum. Media elektronik adalah komputer (seperti internet), film, televisi, VCD/DVD, radio, kaset, dan sebagainya. Dari media elektronik ini yang dimanfaatkan adalah harda ware (perangkat keras) dan terutama soft warenya (perangkat keras) berupa program-programnya yang berkaitan dengan pendidikan agama Islam.

Pendidikan Agama Islam dikembangkan dengan menempatkan nilai-nilai agama dan budaya luhur bangsa sebagai spirit dalam proses pengelolaan dan pembelajaran. Hal ini ditunjukan antara lain dengan mengintegrasikan wawasan keagamaan pada kurikulum pendidikan,

DAFTAR PUSTAKA

An Nahlawi, Abdurrahman, (1996). Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.

Steenbrink, Karel. A., (1986). Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES

Sejak zaman penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap pendidikan. Namun pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah, sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan mereka.

Setelah bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, bangsa Indonesiapun menunjukan kepeduliannya terhadap pendidikan. Hal itu terbukti dengan menempatkan usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai tujuan nasional bangsa Indonesia. Sebagaimana tertulis dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban duniayang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu susunan negara republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (BP 7 Pusat, 1990:1).

Dengan demikian maka tujuan pendidikan yang hendak dicapaipun disesuaikan dengan kepentingan bangsa Indonesia, yang sekarang ini tujuan pendidikan tersebut dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang  Sistem Pendidikan Nasional (UU sisdiknas) BAB II pasal 3 yang berbunyi sebagai berikut :

Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlaq mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Agar tujuan tersebut dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan maka diperlukan suatu alat untuk mencapainya, yaitu “segala sesuatu yang secara langsung membantu terlaksananya tujuan pendidikan” (Barnadib, 1987:96).

Sehubungan dengan alat pendidikan ini, Ahmad Supardi (1989:9), membagi alat pendidikan ke dalam dua bagian, yaitu :

  1. Alat pisik, berupa segala perlengkapan pendidikan yang berupa sarana dan fasilitas dalam bentuk konkrit, seperti bangunan, alat tulis dan baca dan lain sebagainya.
  2. Alat non pisik, berupa kurikulum, pendekatan, metode dan tindakan berupa hadiah dan hukuman serta uswatun hasanah atau contoh teladan yang baik dari pendidik.

Berdasarkan pembagian alat pendidikan yang dikemukakan Ahmad Supardi di atas, jelaslah bahwa salah satu dari alat pendidikan diantaranya adalah kurikulum.

Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, kurikulum harus mencerminkan kepada falsafah sebagai pandangan hidup suatu bangsa, karena ke arah mana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa itu kelak, banyak ditentukan dan tergambarkan dalam kurikulum pendidikan bangsa tersebut.

Sering terjadi jika suatu negara mengalami perubahan pemerintahan, politik pemerintahan itu mempengaruhi pula bidang pendidikan yang sering mengakibatkan terjadinya perubahan kurikulum tang berlaku. Sebagai contoh sebelum Indonesia merdeka setidaknya telah terjadi dua kali perubahan kurikulum, yang pertama ketika di jajah belanda kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya. Kedua ketika dijajah Jepang kurikulum disesuaikan dengan kepentingan politiknya yang bersemangatkan kemiliteran dan kebangunan Asia Timur Raya. Kemudia setelah Indonesia merdeka pra orde baru terjadi pula dua kali perubahan kurikulum, yang pertama dilakukan dengan dikeluarkannya retjcana pelajaran tahun 1947 yang menggantikan seluruh sistem pendidikan kolonial, kemudian pada tahun 1952 kurikulum ini mengalami penyempurnaan dan dan diberinana rentjana Pelajaran terurai 1952.Perubahan kedua terjadi dengan dikeluarkannya rentjana pendidikan tahun 1964, perubahan tersebut terjadi karena merasa perlunya peningkatan dan pengejaran segala ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan khususnya ilmu-ilmu alam dan matematika.

Saat orde baru terlahirpun kurikulum mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan pertama terjadi dengan dikeluarkannya kurikulum 1968 yang didasari oleh adanya tuntutan untuk mengadakan perubahan secara radikal pemerintahan orde lama dalam segala aspek kehidupan termasuk pendidikan. Perubahan kedua terjadi dengan diterbitkannya kurikulum tahun 1975 (disempurnakan dengan kurikulum 1976 dan 1977). Perubahan ketiga terjadi dengan diberlakuannya kurikulum tahun 1984. Dan Perubahan keempat terjadi Ketika di negara kita diberlakukan Undang-undang Sistem pendidikan Nasional (UUSPN) pada tahun 1989 beserta seperangkat peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut pelaksanaan UUSPN tersebut, menyebabkan perlunya pembuatan atau penyusunan kurikulum yang sesuai dengan rumusan pasal-pasal yang tercantum dalam UUSPN dan peraturan pemerintahnya. Maka pada Tahun 1994 di negara kita diberlakukan kurikulum baru sesuai dengan keputusan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 060/U/1993 tanggal 25 Februari 1993.

Perubahan dan perbaikan kurikulum itu wajar terjadi dan memang harus terjadi, karena kurikulum yang disajikan harus senantiasa sesuai dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Subandijah (1993:3), bahwa :

Apabila kurikulum itu dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka kurikulum dalam kedudukannya harus memiliki sipat anticipatori,  bukan hanya sebagai reportorial. Hal ini berarti bahwa kurikulum harus dapat meramalkan kejadian di masa yang akan datang, tidak hanya melaporkan keberhasilan peserta didik.

Sifat kurikulum yang harus senantiasa adaptif dan antisipatif ini sesuai dengan Sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi :

علموا اولادكم فانهم مخلقون غير زمنكم

Artinya : “Didiklah anak-ankmu itu, karena sesungguhnya mereka diciptakan untuk mengisi masa yang bukan masamu”

Seiring dengan terjadinya perubahan politik dan bergantinya rezim orde baru dan terjadinya amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 menyebabkan eksistensi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) dirasakan tidak lagi memadai dan tidak lagi sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut dipandang perlu menyempurnakan UUSPN tersebut, dan pada tahun 2003 dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia menetapkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang kemudian lebih dikenal dengan UU SISDIKNAS.

Sesuai dengan tuntututan UU SISDIKNAS pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyebabkan kurikulum yang berlaku di sekolah adalah kurikulum yang sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Agar kurikulum yang digunakan di sekolah sesuai dengan standar nasional pendidikan maka Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia mengeluarkan peraturan menteri pendidikan nasional nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi yang di dalamnya memuat tentang kerangka dasar dan struktur kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, standar kompetensi dan kompetensi dasar. Untuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Departemen Agama tidak ketinggalan Menteri Agamapun mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008 tentang standar kompetensi lulusan dan standar isi Pendidikan Agama Islam dan Bhasa Arab di Madrasah.

Arah Baru Kurikulum Pendidikan Nasional

Lahirnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 boleh dikatakan sebagai awal lahirnya arah baru pendidikan Indonesia dimana kurikulum yang dibuat mengarah kepada pencapaian kompetensi siswa baik kompetensi Kognitif, Afektif, maupun Psikomotor. Berikut ini pasal-pasal yang terdapat dalam UU SISDIKNAS   yang terkait secara langsung dengan kurikulum. Dalam UU SISDIKNAS terdapat 4 pasal dan 10  ayat yang berbicara tentang kurikulum, yaitu :

Pasal 1 ayat 19

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, da bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraankegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Pasal 36 ayat 1, 2 dan 3

(1)          Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

(2)          Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsipdiversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

(3)          Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

  1. Peningkatan Iman Dan Takwa;
  2. Peningkatan Akhlak Mulia;
  3. Peningkatan Potensi, Kecerdasan, Dan Minat Peserta Didik;
  4. Keragaman Potensi Daerah Dan Lingkungan;
  5. Tuntutan Pembangunan Daerah Dan Nasional;
  6. Tuntutan Dunia Kerja;
  7. Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Dan Seni;
  8. Agama;
  9. Dinamika Perkembangan Global; Dan
  10. Persatuan Nasional Dan Nilai-Nilai Kebangsaan.

Pasal 37 ayat 1 dan 2

(1)          Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

  1. Pendidikan Agama;
  2. Pendidikan Kewarganegaraan;
  3. Bahasa;
  4. Matematika;
  5. Ilmu Pengetahuan Alam;
  6. Ilmu Pengetahuan Sosial;
  7. Seni Dan Budaya;
  8. Pendidikan Jasmani Dan Olahraga;
  9. Keterampilan/Kejuruan; Dan
  10. Muatan Lokal.

(2)          Kurikulum Pendidikan Tinggi Wajib Memuat:

  1. pendidikan agama;
  2. pendidikan kewarganegaraan; dan
  3. bahasa.

Pasal 38 ayat 1, 2, 3, dan 4

(1)   Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan dasar dan menengah ditetapkan oleh Pemerintah.

(2)   Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah/madrasah di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor departemen agama kabupaten/kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah.

(3)   Kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

(4)   Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk setiap program studi.

Kurikulum Berbasis Kompetensi

Usaha pemerintah maupun pihak swasta dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terutama meningkatkan hasil belajar siswa dalam berbagai mata pelajaran terus menerus dilakukan, seperti penyempurnaan kurikulum, materi pelajaran, dan proses pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum Berbasis Kompetensi berorientasi pada: (1) hasil dan dampak yang diharapkan muncul pada diri peserta didik melalui serangkaian pengalaman belajar yang bermakna, dan (2) keberagaman yang dapat dimanifestasikan sesuai dengan kebutuhannya (Depdiknas, Tahun 2004).

Rumusan kompetensi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat diketahui, disikapi, atau dilakukan siswa dalam setiap tingkatan kelas dan sekolah dan sekaligus menggambarkan kemajuan siswa yang dicapai secara bertahap dan berkelanjutan untuk menjadi kompeten.

Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yaitu:

(1) pemilihan kompetensi yang sesuai;

(2) spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi;

(3) pengembangan sistem pembelajaran.

Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
  2. Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
  3. Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
  4. Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
  5. Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.(Depdiknas, Tahun 2004).

Setidaknya ada dua versi Kurikulum Berbasis Kompetensi yang pernah ada di Indonesia setelah lahirnya UU SISDIKNAS no 20 tahun 2003, yaitu KBK tahun 2004 yang tidak pernah disyahkan menteri pendidikan Nasional walaupun telah menelan biaya milyaran rupiah dan KBK tahun 2006 yang selanjutnya lebih dikenal dengan KTSP.

Nanang Rijono, dalam situs pribadinya menatakan bahwa  banyak kalangan, termasuk aparat Depdiknas dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota membuat statement bahwa Kurikulum 2004 (atau KBK) tidak terlalu jauh berbeda dengan Kurikulum 2006 yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan baru ditetapkan pemberlakuannya oleh Mendiknas melalui Peraturan Mendiknas No. 24 Tahun 2006 tanggal 2 Juni 2006. Saya tidak tahu, apakah penyataan mereka itu dimaksudkan untuk “menghibur guru” agar tidak resah menghadapi perubahan kurikulum ini. Mengingat Kurikulum 2004 ini masih dalam taraf ujicoba yang lebih luas sejak tahun pembelajaran 2004/2005 dan belum semua sekolah sudah menerapkan secara utuh Kurikulum 2004. Namun apa daya, kini sudah dimunculkan kurikulum baru, Kurikulum 2006. Sehingga muncullah statement yang “menghibur” tersebut.

Hal ini adalah ironis, karena menunjukkan pemahaman yang sangat dangkal mereka terhadap Kurikulum 2006 tersebut. Saya menduga mereka hanya “mengulang-ulang” pernyataan dari BSNP, aparat Pusat Kurikulum, Pejabat Depdiknas yang bermaksud meredam agar Kurikulum 2006 tidak mendapat tentangan dari ujung tombak pendidikan : guru dan sekolah, atau gejolak yang meresahkan masyarakat dan dunia pendidikan. Jika saja mereka sudah melakukan pembandingan secara mendalam kedua kurikulum tersebut, niscaya mereka akan mengatakan bahwa Kurikulum 2004 dengan Kurikulum 2006 berbeda secara nyata, secara signifikan. Memang harus diakui dalam beberapa hal ada kesamaan atau kemiripan antara keduanya.

Berikut ini kami sajikan perbedaan dan persamaan antara Kurikulum 2004 dan Kurikulum 2006 (perhatikal tebel) :

Perbandingan KBK 2004 dan 2006

ASPEK

KURIKULUM 2004

KURIKULUM 2006

1. Landasan Hukum

  • Tap MPR/GBHN Tahun 1999-2004
  • UU No. 20/1999 – Pemerintah-an Daerah
  • UU Sisdiknas No 2/1989 kemudian diganti dengan UU No. 20/2003
  • PP No. 25 Tahun 2000 tentang pembagian kewenangan
  • UU No. 20/2003 – Sisdiknas
  • PP No. 19/2005 – SPN
  • Permendiknas No. 22/2006 – Standar Isi
  • Permendiknas No. 23/2006 – Standar Kompetensi Lulusan

2. Implementasi /

Pelaksanaan

Kurikulum

  • Bukan dengan Keputusan/ Peraturan Mendiknas RI
  • Keputusan Dirjen Dikdasmen No.399a/C.C2/Kep/DS/2004 Tahun 2004.
  • Keputusan Direktur Dikme-num No. 766a/C4/MN/2003 Tahun 2003, dan No. 1247a/ C4/MN/2003 Tahun 2003.
  • Peraturan Mendiknas RI No. 24/2006 tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri No. 22 tentang SI dan No. 23 tentang SKL

3. Ideologi Pendidik-

an yang Dianut

  • Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif
  • Liberalisme Pendidikan : terciptanya SDM yang cerdas, kompeten, profesional dan kompetitif

4. Sifat (1)

  • Cenderung Sentralisme Pendidikan : Kurikulum disusun oleh Tim Pusat secara rinci; Daerah/Sekolah hanya melaksanakan
  • Cenderung Desentralisme Pendidikan : Kerangka Dasar Kurikulum disusun oleh Tim Pusat; Daerah dan Sekolah dapat mengembangkan lebih lanjut.

5. Sifat (2)

  • Kurikulum disusun rinci oleh Tim Pusat (Ditjen Dikmenum/ Dikmenjur dan Puskur)
  • Kurikulum merupakan kerangka dasar oleh Tim BSNP

6. Pendekatan

  • Berbasis Kompetensi
  • Terdiri atas : SK, KD, MP dan Indikator Pencapaian
  • Berbasis Kompetensi
  • Hanya terdiri atas : SK dan KD. Komponen lain dikembangkan oleh guru

7. Struktur

  • Berubahan relatif banyak dibandingkan kurikulum sebelumnya (1994 suplemen 1999)
  • Ada perubahan nama mata pelajaran
  • Ada penambahan mata pelajaran (TIK) atau penggabungan mata pelajaran (KN dan PS di SD)
  • Penambahan mata pelajaran untuk Mulok dan Pengem-bangan diri untuk semua jenjang sekolah
  • Ada pengurangan mata pelajaran (Misal TIK di SD)
  • Ada perubahan nama mata pelajaran
  • KN dan IPS di SD dipisah lagi
  • Ada perubahan jumlah jam pelajaran setiap mata pelajaran

8. Beban Belajar

  • Jumlah Jam/minggu :
  • SD/MI = 26-32/minggu
  • SMP/MTs = 32/minggu
  • SMA/SMK = 38-39/minggu
  • Lama belajar per 1 JP:
  • SD = 35 menit
  • SMP = 40 menit
  • SMA/MA = 45 menit
  • Jumlah Jam/minggu :
  • SD/MI 1-3 = 27/minggu
  • SD/MI 4-6 = 32/minggu
  • SMP/MTs = 32/minggu
  • SMA/MA= 38-39/minggu
  • Lama belajar per 1 JP:
  • SD/MI = 35 menit
  • SMP/MTs = 40 menit
  • SMA/MA = 45 menit

9. Pengembangan

Kurikulum lebih

lanjut

  • Hanya sekolah yang mampu dan memenuhi syarat dapat mengembangkan Kurikulum
  • Guru membuat silabus atas dasar Kurikulum Nasional dan RP/Skenario Pembelajaran
  • Semua sekolah /satuan pendidikan wajib membuat KTSP.
  • Silabus merupakan bagian tidak terpisahkan dari KTSP
  • Guru harus membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

10. Prinsip

Pengembangan

Kurikulum

  1. Keimanan, Budi Pekerti Luhur, dan Nilai-nilai Budaya
  2. Penguatan Integritas Nasional
  3. Keseimbangan Etika, Logika, Estetika, dan Kinestetika
  4. Kesamaan Memperoleh Kesempatan
  5. Perkembangan Pengetahuan dan Teknologi Informasi
  6. Pengembangan Kecakapan Hidup
  7. Belajar Sepanjang Hayat
  8. Berpusat pada Anak
  9. Pendekatan Menyeluruh dan Kemitraan
  1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya
  2. Beragam dan terpadu
  3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
  4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan
  5. Menyeluruh dan berkesinam-bungan
  6. Belajar sepanjang hayat
  7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah

11. Prinsip

Pelaksanaan

Kurikulum

Tidak terdapat prinsip pelaksanaan kurikulum

  1. Didasarkan pada potensi, perkembangan dan kondisi peserta didik untuk menguasai kompetensi yang berguna bagi dirinya.
  2. Menegakkan lima pilar belajar:
    1. Memungkinkan peserta didik mendapat pelayanan perbaik-an, pengayaan, dan/atau percepatan sesuai dengan potensi, tahap perkembangan, dan kondisinya dengan memperhatikan keterpaduan pengembangan pribadi peserta didik yang berdimensi ke-Tuhanan, keindividuan, kesosialan, dan moral.
  • belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME,
  • belajar untuk memahami dan menghayati,
  • belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif,
  • belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain,
  • belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembela-jaran yang efektif, aktif, kreatif & menyenangkan.
  1. Dilaksanakan dalam suasana hubungan peserta didik dan pendidik yang saling meneri-ma dan menghargai, akrab, terbuka, dan hangat, dengan prinsip tut wuri handayani, ing madia mangun karsa, ing ngarsa sung tulada
  2. Menggunakan pendekatan multistrategi dan multimedia, sumber belajar dan teknologi yang memadai, dan meman-faatkan lingkungan sekitar sebagai sumber belajar.
  3. Mendayagunakan kondisi alam, sosial dan budaya serta kekayaan daerah untuk keberhasilan pendidikan dengan muatan seluruh bahan kajian secara optimal.
  4. Diselenggarakan dalam kese-imbangan, keterkaitan, dan kesinambungan yang cocok dan memadai antarkelas dan jenis serta jenjang pendidikan.

12. Pedoman

Pelaksanaan

Kurikulum

  1. Bahasa Pengantar
  2. Intrakurikuler
  3. Ekstrakurikuler
  4. Remedial, pengayaan, akselerasi
  5. Bimbingan & Konseling
  6. Nilai-nilai Pancasila
  7. Budi Pekerti
  8. Tenaga Kependidikan
  9. Sumber dan Sarana Belajar
  10. Tahap Pelaksanaan
  11. Pengembangan Silabus
  12. Pengelolaan Kurikulum

Tidak terdapat pedoman pelaksanaan kurikulum seperti pada Kurikulum 2004.

Kurikulum Pendidikan Agama Islam Dalam KBK

Ketika kita berbicara Kurikulum berbasis Kompetensi maka pembahasan utama yang harus kita lakukan adalah tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar yang harus ditempuh oleh seorang peserta didik.

Dalam KBK tahun 2004 untuk mata pelajaran PAI (kita ambil contoh di jenjang SMP), Standar Kompetensi yang disajikan sangat sederhana tapi cukup mendalam dan mencerminkan standar kompetensi pendidikan Islam yang menyeluruh, untuk lebih jelasnya perhatikan tabel berikut :

No

Standar Kompetensi

1

Mengamalkan ajaran AL Qur’an /Hadits dalam kehidupan sehari-hari

2

Menerapkan aqidah Islam dalam kehidupan sehari-hari

3

Menerapkan akhlakul karimah (akhlaq mulia) dan menghindari akhlaq tercela dalam kehidupan sehari

4

Menerapkan syariah (hukum Islam) dalam kehidupan sehari-hari)

5

Mengambil Manfaat dari Sejarah Perkembangan (peradaban) Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Kelima Standar Kompetensi di atas berlaku untuk semua tingkat dari kelas VII s.d Kelas IX dan masing-masing dari kelima standar kompetensi tersebut diuraikan lagi  menjadi beberapa kompetensi dasar yang memiliki cakupan materi yang cukup dalam dan luas.  Sebagai contoh untuk standar kompetensi dasar yang pertama di kelas VII diurai ke dalam lima kompetensi Dasar yaitu :

1.1. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat adduha

1.2. Siswa mampu membaca, mengartikan dan menyalin surat Al Adiyat

1.3. Siswa mampu menerapkan hukum bacaan Alif lam syamsiyah dan Alif lam qamariyah

1.4. Siswa mampu mempraktikan hukum bacaan Nun mati dan Tanwin dan mim mati

1.5. Siswa mampu membaca, mengartikan, dan menyalin hadits tentang Rukun Islam.

Sementar dalam KBK tahun 2006 (KTSP), setandar kompetensi yang disajikan untuk mata pelajaran pendidikan Agama Islam sangat banyak tapi bobotnya amat dangkal, untuk kelas VII terdapat 14 SK, untuk kelas VIII terdapat 15 SK, dan untuk kelas IX terdapat 13 SK.

Ada satu pertanyaan yang mungkin mengganjal di hati kita mengapa Standar Kompetensi dalam KBK 2006 ini dangkal, jawabannya adalah karena Standar Kompetensi yang disajikan dalam KBK 2006 adalah Kompetensi dasar dalam KBK 2004. Sebagai Contoh Perhatikan Tabel berikut ini :

Kelas VII, Semester I

Standar Kompetensi

Kompetensi Dasar

Al-Qur’an

  1. Menerapkan Hukum bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah

1.1  Menjelaskan hukum bacaan bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah

1.2   Membedakan  hukum bacaan bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah

1.3    Menerapkan bacaan bacaan ”Al” Syamsiyah dan ”Al”Qomariyah  dalam bacaan surat-surat Al-Qur’an dengan benar

Aqidah

  1. Meningkatkan keimanan kepada Allah SWT melalui pemahaman sifat-sifatNya

2.1   Membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah

2.2   Menyebutkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah SWT

2.3   Menunjukkan tanda-tanda adanya Allah SWT

2.4   Menampilkan perilaku sebagai cermin keyakinan akan sifat-sifat Allah SWT

  1. Memahami Asmaul Husna

3.1   Menyebutkan arti ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan 10 Asmaul Husna

3.2   Mengamalkan isi kandungan 10 Asmaul Husna

Akhlak

  1. Membiasakan perilaku terpuji

4.1   Menjelaskan pengertian tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar

4.2   Menampilkan contoh-contoh perilaku  tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar

4.3   Membiasakan perilaku tawadhu, ta’at, qana’ah dan sabar

Fiqih

  1. Memahami ketentuan – ketentuan thaharah (bersuci)

5.1   Menjelaskan ketentuan –ketentuan mandi wajib

5.2   Menjelaskan perbedaan hadas dan najis

  1. Memahami tatacara shalat

6.1   Menjelaskan ketentuan –ketentuan shalat wajib

6.2   Memperaktikkan shalat wajib

  1. Memahami tatacara shalat jamaah dan munfarid (sendiri)

7.1   Menjelaskan pengertian shalat jama’ah dan munfarid

7.2   Memperaktikkan shalat jama’ah dan shalat munfarid

Tarikh dan kebudayaan Islam

  1. Memahami sejarah Nabi Muhammad SAW

8.1   Menjelaskan sejarah Nabi Muhammad SAW

8.2   Menjelaskan misi nabi Muhammad  untuk semua manusia dan bangsa

Dari kedua contoh perbandingan kurikulum di atas jelaslah bahwa ternyata ke dalaman standar kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai oleh KBK 2004 jauh lebih menyeluruh dibanding dengan KBK 2006, belum lagi kesulitan yang akan dirasakan guru saat menyusun RPP dimana ketentuan pembuatan RPP adalah  satu KD satu RPP. Coba perhatikan SK yang pertama terdapt tiga KD, berarti dari ketiga KD itu harus dibuat satu RPP dan satu RPP disajikan dalam satu kali pertemuan atau lebih. Padahal ketiga KD di atas dapat disajikan satu kali pertemuan (2 jam pelajaran).

Penutup

Demikianlah pembahasan tentang Analisis Kebijakan Pendidikan Islam bidang kurikulum yang sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan ini. Untuk menyempurnakan makalah ini kami berharap kritik dan saran yang membangun dari semua peserta diskusi sore hari ini.

Wallahu ‘alam

Daftar Bacaan

  1. Drs. H. Abdurrahman Shaleh, Penyelenggaraan Madrasah, Darma Bakti, Jakarta 1984.
  2. Ahmad Sadali dkk, Islam untuk disiplin Ilmu Pendidikan, CV Kuningan Mas, Jakarta, 1989
  3. Ahmad Supardi, Ilmu Pendidikan Islam, IAIN Sunan Gunung Djati, Bandung 1988
  4. BP7 Pusat, Undang-Undang Dasar, P4, GBHN, Jakarta, 1990
  5. Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Raja Gravindo Persada, Jakarta 1993
  6. Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, FIP IKIP, Yogyakarta, 1987
  7. Depdiknas, Kurikulum 2004 SMP Mata Pelajaran PAI, Jakarta, 2004
  8. Depdiknas, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, Jakarta, 2003
  9. Depdiknas, Peraturan Pemerintah no 19 Tahun 2005, Jakarta, Depdiknas, 2005

10.  Depag, Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 2008, Jakarta, Depag, 2008

11.  Dr. Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Kencana, Jakarta, 2009

12.  Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Isl;am , Kalam Mulia, Jakarta, 2008

 

 
 
  Today, there have been 54 visitors (72 hits) on this page!  
 
Semoga Bermanfaat
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free